Bukannya bermain dan belajar, ada puluhan ribu pekerja anak di Kalimantan Timur. Nahasnya, lebih dari 70 persen di antara pekerja anak itu, tak dibayar. Selain itu, mayoritas pekerja anak di Kaltim adalah anak perempuan.
Hal itu termuat dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim bertajuk Profil Anak yang Bekerja Provinsi Kalimantan Timur 2023. Hasil Sakernas Agustus Tahun 2023, penduduk usia 10-17 tahun di Kaltim ada 536.029 jiwa. Dari angka itu, 26.648 anak di antaranya bekerja. Mayoritas adalah perempuan yaitu 15.258 anak perempuan. Sisanya, sekitar 11.390 anak adalah laki-laki. Dari sepuluh kabupaten/kota di Kaltim, pekerja anak paling banyak berada di Kutai Kartanegara. Total ada sekitar 7.516 anak yang bekerja di kabupaten ini. (selengkapnya lihat infografis di bawah ini)
Publikasi Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur 
Sedangkan, sektor ekonomi yang menyerap banyak anak pekerja tahun 2023 adalah sektor perdagangan sebesar 33,29 persen dari anak berusia 10-17 tahun yang bekerja. Sektor berikutnya yang paling banyak menyerap anak bekerja adalah sektor penyediaan
akomodasi dan makan minum sebesar 22,24 persen dan sektor lainnya sebesar 15,91 persen.
Masih dalam publikasi BPS Kaltim, jika dilihat dari jenis kelamin, dapat diketahui bahwa dari anak usia 10-17 tahun yang bekerja dan berpendidikan SD kebawah, lebih didominasi oleh anak perempuan.
“Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh anak perempuan di usia tersebut sering kali lebih banyak terlibat dalam pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan yang kurang terlihat. Seperti merawat saudara, memasak, atau bekerja di sektor informal. Tanggung jawab ini sering kali dianggap sebagai bagian dari peran tradisional perempuan dalam masyarakat,” tulis BPS dalam publikasinya.

Sementara, untuk pendidikan setingkat SMP, anak yang perempuan yang bekerja memiliki persentase sedikit lebih tinggi dibanding persentase anak laki-laki. Dalam talk show dengan RRI Pro 3, pada Rabu (23/7/2025), Jasra Putera dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan KPAI melakukan pemantauan praktik pekerja anak di tujuh daerah.
“Dari pantauan tersebut, sejumlah daerah di Kalimantan memang ditemukan anak-anak yang bekerja di sektor perkebunan,” kata dia seperti dikutip dari laman RRI.
Padahal, anak-anak yang dipekerjakan atau bekerja di perkebunan, seperti sawit, sangat rentan dengan potensi bahaya. Yakni, potensi bahaya dari alat atau lingkungan pekerjaan.
“Pekerja anak memiliki dampak negatif pada perkembangan fisik, masalah psikologis, dan kurangnya atau hilangnya akses pendidikan anak. Pekerjaan yang melibatkan beban berat atau kondisi berbahaya juga dapat menyebabkan cedera fisik atau penyakit pada anak-anak,” ucapnya.
Kemudian, Jasra menyoroti, soal pekerja anak yang seringkali harus mengorbankan waktu belajar karena bekerja. Hal ini, dapat menyebabkan anak putus sekolah.
“Bahkan anak tidak pernah bersekolah. Karena harus bekerja karena tuntutan ekonomi keluarga,” pungkasnya. (Sirana.id)















