Beban ganda yang masih dipikul sebagian perempuan, membuat Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) jadi opsi yang dipilih perempuan. UMKM ini umumnya bergerak di sektor perdagangan barang dan jasa. Fleksibilitas waktu bisa seiring dengan keharusan mereka mengurus rumah tangga dan domestik. Maka jangan heran jika 64 persen pelaku usaha UMKM di negeri ini adalah perempuan.
Di Kalimantan Timur, ada 450 ribuan UMKM yang tercatat. UMKM itu, banyak melibatkan perempuan. Baik sebagai pengusaha maupun pekerjanya. Contohnya, berdasarkan data SIGA DP3A Kaltim, di Kutai Timur ada 9,6 ribu UMKM dengan 6,5 ribu pelaku usahanya adalah perempuan.

Opsi memilih jadi pengusaha UMKM, juga banyak sebabnya. Salah satunya, akses perempuan ke pekerjaan juga masih tak seluas laki-laki. Data Badan Pusat Statistik misalnya, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kalimantan Timur misalnya cukup jomplang. Laki-laki, angkanya 83,75 persen. Sedangkan, perempuan hanya 49,07 persen.
Seperti Dwi, perempuan 30 tahun di Samarinda, yang memilih membuka usaha kuliner. Usaha ini bisa dia lakukan sembari mengurus anaknya di rumah. Dia sebenarnya ingin bekerja di kantor, seperti saat sebelum menikah. Namun, empat tahun vakum dari pekerjaan membuatnya susah mendapatkan pekerjaan lagi.
“Padahal, anak sudah cukup besar, sudah bisa ditinggal. Tetapi, enggak ada yang menerima. Karena ingin punya uang sendiri, buka usaha camilan sambil daftarin di online,” cerita dia.
Keharusan perempuan bekerja sebagian disebabkan selain ingin mandiri atau membantu ekonomi rumah tangga yang tak dapat diakomodasi sepenuhnya oleh suami, juga disebabkan karena mereka menjadi perempuan kepala keluarga. Dari data DKP3A Kaltim ada 260 ribu perempuan di Kaltim yang jadi kepala keluarga. Persentasenya, sekitar 19 persen dari total keseluruhan keluarga di Kaltim. Jumlah terbanyak ada di Samarinda dengan 60 ribu perempuan.

Tetapi, sayangnya perempuan tak memiliki kesempatan seluas laki-laki. Pekerja perempuan dihadapkan, pada situasi yang kerap tak menguntungkan ketika bekerja. Belum lagi, keengganan pemberi kerja membuka lowongan untuk perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Microsave (MSC) Consulting Indonesia pada 2024 telah mempublikasi penelitian soal pekerja perempuan. Dari penelitian ini, ditemukan sekitar 66% atau 54,5 juta pekerja informal di Indonesia adalah perempuan. Alasan tingginya persentase perempuan pekerja dalam sektor informal, cukup memprihatinkan. Perempuan umumnya lebih termotivasi memasuki dunia kerja informal dengan pertimbangan jam kerja yang fleksibel dan cepat memperoleh pendapatan. Karena harus meluangkan waktu untuk memenuhi tanggung jawab melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.
Digitalisasi ekonomi informal pun meningkatkan peluang untuk memasuki sektor kerja informal. Namun, pada akhirnya, fleksibilitas waktu kerja dalam sektor informal justru mengakibatkan perempuan memiliki jam kerja yang lebih panjang dengan pendapatan yang lebih rendah.
Senior Manager Gender Equality & Social Inclusion (GESI), MSC Indonesia Consulting, Putu Monica Christy memaparkan temuan kunci dan rekomendasi dari hasil studi dimana pekerja informal perempuan memiliki jam kerja yang panjang tetapi pendapatan yang rendah.
“Sebagian besar pekerja informal perempuan bekerja lebih dari 40 jam per minggu,” terangnya dalam rilis tersebut.

Akan tetapi, lebih dari 70 persen perempuan di sektor informal hanya memiliki pendapatan di bawah tiga juta rupiah per bulan. Perempuan juga menanggung beban ganda karena tetap bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Lebih dari 60 persen pekerja informal perempuan menghabiskan lebih dari 10 jam per minggu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pengasuhan. (sirana.id)
Baca juga: Beban Berlapis Perempuan dan Alasan Angka Pernikahan Menurun















