KONFLIK agraria kerap menghiasi pemberitaan. Gambaran nestapa masyarakat adat, nelayan, dan petani yang banyak terekam dalam pemberitaan, belum juga membuat urusan agraria menjadi baik. Padahal, isu agraria ini erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Berbagai kasus menunjukkan bagaimana konflik petani yang jadi penghasil beras, harus kalah dengan korporasi yang katanya akan menggerakkan ekonomi.
Di Kaltim, konflik agraria masih terus terjadi. Mulai dari di sektor pertambangan, kebun sawit, hingga hutan tanaman industri, tak lupa pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Sepaku.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyoroti peran penting negara dalam menegakkan keadilan agraria dan menyelamatkan hak-hak petani yang selama ini kerap terpinggirkan.
Yeka menyampaikan, Ombudsman RI sangat prihatin dengan krisis pangan yang terjadi, terutama terkait masalah maladministrasi di sektor agraria. Menurutnya, berbagai permasalahan dalam kebijakan pangan dan agraria harus segera diatasi agar hak-hak petani dapat terjamin. Ombudsman RI telah berupaya memberikan tindakan korektif kepada instansi terkait, namun Yeka mengakui bahwa tantangan masih besar.
“Kami di Ombudsman RI terus berkomitmen untuk melindungi hak-hak petani dan memastikan bahwa negara menjalankan reforma agraria sesuai amanat konstitusi. Kami mendorong tindakan korektif yang efektif untuk mengatasi maladministrasi, tetapi langkah tersebut harus didukung oleh kebijakan yang lebih berkeadilan dan berpihak pada petani,” ungkap Yeka dalam diskusi tersebut.
Di Kaltim, Ombudsman pernah menemukan adanya dugaan maladministrasi berupa penghentian pemberian layanan pertanahan pada layanan permohonan surat keterangan tanah dan pendaftaran tanah di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, khususnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Menurut hasil investigasi atas prakarsa sendiri yang dilakukan oleh Ombudsman, penghentian layanan tersebut lantaran adanya ketidaksesuaian implementasi dan tumpang tindih regulasi yang menyebabkan keragu-raguan petugas di tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa. Imbasnya, layanan kepada masyarakat terkait pengajuan permohonan surat keterangan tanah dan pendaftaran tanah menjadi terganggu. Tidak hanya tanah di wilayah delineasi IKN, terhentinya pelayanan juga terjadi atas tanah di luar wilayah delineasi IKN.
Sementara itu, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, mengungkapkan selama semester I 2024, mereka telah menangani 162 kasus, termasuk konflik agraria dan kriminalisasi.
Pada Rabu (18/9), dia mengungkapkan ada beberapa kasus yang menjadi perhatian Komnas HAM. Salah satu sorotan utama Komnas HAM adalah konflik agraria di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Seperti pembabatan lahan petani juga penggusuran masyarakat adat untuk proyek bandara VVIP.
“Komnas HAM telah merekomendasikan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi,” jelasnya. (Sirana.id)