Perempuan sering kali berada dalam lapisan kerentanan ganda. Mulai dari kemiskinan, ketimpangan gender, dan beban domestik yang tidak diakui secara formal. Di wilayah pesisir dampak perubahan iklim memaksa perempuan bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Lalu, tantangan seperti banjir rob atau kelangkaan sumber daya memperbesar potensi eksploitasi dan kerja paksa terutama ketika pilihan ekonomi terbatas.
Hal tersebut disampaikan Nawawi, Kepala Pusat Riset Kependudukan (PRK) BRIN. Dia lebih lanjut memaparkan, ketimpangan struktural terlihat ketika perempuan diposisikan sebagai aktor sekunder, bahkan tersier, dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, peran perempuan tidak diakui secara formal dalam skema bantuan atau program pemerintah. Misalnya, istri para nelayan yang suaminya sering melaut berbulan-bulan kerap tidak diakui sebagai kepala keluarga, sehingga mereka kehilangan akses pada program seperti program keluarga harapan.
“Padahal, dalam kenyataan sehari-hari, perempuan inilah yang mengambil alih peran pengelolaan rumah tangga, keuangan, dan bahkan peran komunitas. Di Pulau Sumba, misalnya, penelitian menunjukkan bagaimana perempuan mulai memegang kendali dalam aktivitas ekonomi dan sosial yang sebelumnya didominasi laki-laki,” jelasnya.
Resiliensi perempuan tidak boleh lepas dari konteks keadilan iklim dan keadilan gender. Tanpa akses setara terhadap sumber daya, informasi, dan ruang partisipasi, perempuan akan tetap berada dalam posisi rentan. Oleh karena itu, adaptasi iklim tidak cukup hanya berbasis pada pendekatan teknis, tetapi harus mengakui hak-hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Untuk mencapai transformasi sosial yang adil, maka keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal hingga nasional harus diperkuat. Termasuk memastikan suara mereka hadir dalam forum, seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan perencanaan program pembangunan lainnya.
Nawawi menyimpulkan bahwa perempuan bukan sekadar korban perubahan iklim, tetapi juga aktor kunci dalam membangun resiliensi komunitas. Mereka menghadapi risiko lebih besar akibat ketimpangan struktural, namun juga menunjukkan kapasitas luar biasa untuk beradaptasi dan memimpin perubahan.
Lebih jauh, Nawawi menyampaikan catatan penting sebagai refleksi bahwa konsep resiliensi perempuan harus dipandang lebih luas, bukan sekadar kemampuan bertahan hidup. Tetapi tentang bagaimana perempuan berdaya, menegosiasikan peran di tengah struktur sosial patriarkal, serta terlibat dalam pengambilan keputusan dan proses perubahan.
Terpisah, Yayuk Anggraini, akademisi Universitas Mulawarman saat menjadi pemateri pada sebuah workshop kepemimpinan perempuan pada Juni 2025 di Samarinda mengatakan tidak mudah bagi perempuan untuk jadi pemimpin dan bersuara. Salah satu sebabnya adalah stereotipe gender. Perempuan kerap mendapat stereotip bahwa mereka kurang tegas, kurang percaya diri, dan tidak kompeten. Padahal, kepemimpinan perempuan memiliki keunggulan. Seperti berorientasi pada etika dan keberlanjutan. Unggul dalam kolaborasi, komunikasi, dan kecerdasan emosional. Juga ketahanan dalam krisis.
“Perempuan pandai mengelola perubahan dan tantangan,” tegasnya.
Maka dari itu, perlu adanya upaya pengarusutamaan gender dan mendorong perempuan untuk berperan dan vokal pada isu-isu publik. Sebab, pengalaman perempuan akan lebih sahih disampaikan perempuan.(ff/sirana.id)
Baca juga: Membuka Ruang, Mengupayakan Perempuan Kalimantan Timur Bersuara















