SAMARINDA – Pukul 2 dini hari, Polresta Samarinda menangkap 22 mahasiswa di kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman (FKIP Unmul) Jalan Banggeris. Mahasiswa ini ditangkap dengan tuduhan diduga akan berbuat anarkis. Polisi pun menunjukkan bom molotov, hingga lukisan logo partai Komunis Indonesia (PKI) dari sekretariat Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HMPS) FKIP Unmul yang disebut jadi bukti rencana anarkis pada demo hari ini.
HMPS pun mengeluarkan pernyataan sikap pada Senin (1/9/2025). Mereka membantah semua tuduhan yang dilayangkan kepada mahasiswa sejarah terkait tindakan anarkis, pembuatan bom molotov, lukisan PKI hingga smoke bomb.
Pertama, soal tuduhan tindakan anarkis dan kepemilikan bom molotov. Mereka menolak jika mahasiswa Sejarah meracik maupun menyimpan bom molotov.
Mereka menegaskan bahwa setiap gerakan HMPS selalu berlandaskan prinsip intelektual dan moral, serta menolak cara-cara kekerasan.
“Oleh karena itu, tuduhan kepemilikan bom molotov adalah sebuah fitnah keji dan upaya sistematis untuk melakukan kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa,” tegas mereka dalam rilisnya.
Lalu soal lukisan logo PKI yang dijadikan polisi sebagai alat bukti. HMPS FKIP Unmul menegaskan keberadaan logo tersebut di sekretariat himpunan, adalah murni untuk kepentingan diskursus akademik dan edukasi kesejarahan untuk mahasiswa baru 2024. Hal ini dibuktikan dengan materi dan logo organisasi pergerakan lain seperti Sarekat Islam, Indische Partij, PNI, dan PSI.
“Kami menolak dengan tegas upaya pendangkalan sejarah dan stigmatisasi yang dilakukan dengan menjadikan logo PKI sebagai bukti,” papar mereka.
Selain itu, menjadikan materi pendidikan sebagai alat bukti kejahatan adalah bentuk nyata pemberangusan mimbar akademik dan merupakan serangan terhadap nalar kritis yang menjadi ruh utama dalam pendidikan.
Sedangkan soal smoke bomb, HMPS menegaskan bom asap itu merupakan properti untuk memeriahkan acara penutupan Ospek program studi pada 30 Agustus 2025.
“Upaya untuk mengaitkan properti kegiatan kemahasiswaan yang bersifat seremonial dengan tuduhan anarkisme adalah bukti bahwa aparat mencari-cari kesalahan dengan narasi yang dipaksakan. Ini adalah bentuk intimidasi yang bertujuan menciptakan citra buruk bagi seluruh aktivitas mahasiswa yang legal dan sah,” jelas HMPS.
Selain itu, HMPS juga mengkritisi fasilitas kampus yang buruk. Mulai dari pagar yang tidak kokoh dan pencahayaan kampus yang kurang, keamanan yang buruk hingga aparat bisa masuk kampus, dan nahasnya tidak ada cctv.
“Keamanan yang kurang tegas, dalam melindungi ranah intelektual menjadi perhatian khusus untuk segera dibenahi agar tidak ada aparat yang bisa masuk ke ranah intelektual,” pungkas mereka.
Empat Mahasiswa Ditahan
Ada 22 mahasiswa yang ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Samarinda pada Senin dini hari tersebut. Namun, 18 diantaranya dipulangkan. Empat mahasiswa sisanya ditahan, mereka adalah MZF (19), MH (21), MAGA (20), dan AR (21). Dalam konferensi persnya, Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar memaparkan hasil penyelidikan sementara mereka, bom molotov tersebut dipersiapkan untuk aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Kalimantan Timur pada Senin (1/9).
Para pelaku dia sebut memiliki peran berbeda, mulai dari memindahkan bahan baku, merakit, hingga menyembunyikan bahan peledak. Saat ini, polisi juga masih memburu pihak lain yang diduga berperan sebagai penyedia bahan baku.
Kapolresta juga memperingatkan tidak akan memberikan ruang bagi pihak-pihak yang mencoba memprovokasi atau menciptakan kekacauan.
“Aparat akan hadir untuk memastikan aspirasi masyarakat bisa tersampaikan secara damai, tanpa mengorbankan keamanan publik,” ujarnya. (Sirana.id)















