SAMARINDA – Kabar gembira bagi para pembudidaya kademba alias kratom. Pemerintah telah memperbolehkan kembali ekspor kratom.
Dalam rilis Kementerian Perdagangan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Isy Karim mengungkapkan, Aturan tata niaga ekspor kratom akan diberlakukan ketentuan standar ekspor diantaranya, bebas cemaran mikrobiologi, logam berat, dan campuran daun lainnya.
“Perubahan Permendag tata niaga ekspor kratom merupakan tindak lanjut hasil rapat internal yang dipimpin Presiden Jokowi. Dalam rapat tersebut diputuskan, ekspor kratom harus sesuai dengan standar yang telah ditentukan guna meningkatkan nilai tambah dan memberikan kepastian
hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Isy menjelaskan, pengaturan tata niaga kratom difokuskan untuk ekspor, bukan penggunaan dalam negeri. Pengaturan ini juga bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kratom.
“Saya berharap pelaku usaha dapat menjalankan Permendag ini. Sehingga dapat meningkatkan perekonomian Indonesia,” tutur Isy Karim.
Suara Saat Kratom Dilarang
Kratom sempat dilarang. Pemerintah daerah pun sempat bersuara. Di Kaltim, wilayah yang banyak menghasilkan adalah Kutai Kartanegara. Beberapa desa di Kota Bangun, menghasilkan kratom yang dikirim ke pengusaha asal Pontianak, Kalimantan Barat. Wilayah Kukar seperti di Kota Bangun, sangat potensial. Dari faktor geografis, tanaman kratom banyak tumbuh di kawasan pinggir sungai.
Dalam sebuah agenda pada tahun 2021, Asisten 1 Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Akhmad Taufik Hidayat menjelaskan bahwa lahan tanaman kratom saat ini sekitar 1.200 hektar.
Jika diasumsikan perhektarenya, ada 10 orang petani, setidaknya masyarakat yang membudidayakan tanaman kratom adalah hampir setengah dari total lahan.
“Saat ini budidaya kratom tidak bisa dijual. Pemerintah Daerah harus memberikan penjelasan dan pemahaman kepada masyarakat bahwa Pemerintah Kabupaten Kukar melarang budidaya kratom karena mengandung narkotika. Untuk itu Pemkab Kukar membuat kebijakan dalam menyikapi rencana pelarangan kratom,” ujarnya saat itu.
Protes pun pernah dilontarkan Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim 2019-2024 Salehuddin. Dalam rapat pada September 2021, dia menyayangkan budidaya dan produksi Kratom (Kedemba) di Kabupaten Kukar terhenti.
Daun Kratom dan bubuknya sangat bernilai ekonomi bagi masyarakat. Terutama di daerah hulu. Tapi jika dilarang, harusnya ada penegasan dari pemerintah sendiri, misalnya baik dari BPOM atau dari BNN yang menegaskan bahwa tanaman ini tidak boleh.
“Jadi masyarakat tidak rugi mengembangkan tanaman ini, karena Kratom ini punya komoditas ekonomi yang bagus dan beberapa dari mereka sudah mengganti tanaman kebunnya dengan Kratom,” terangnya.
Politikus Golkar ini mengaku, secara realistis mereka merasakan dampak ekonominya luar biasa karena pemeliharaan tanaman Kratom ini tidak terlalu susah, artinya sebatas membersihkan saja selebihnya kalau sudah panen satu tahunan lebih apalagi memiliki luasan 1 hektar hasilnya sudah lumayan.
“Terlepas dari itu saya harap kepada Pemerintah, jika memang tanaman ini tidak dibolehkan maka pemerintah juga harus mencarikan alternatif komoditas yang bisa menggantikan bidang apa untuk mereka beralih profesi,” tutur legislator Kukar itu.
Dikenal Lama Sebagai Obat Tradisional
Sementara itu, Kratom, atau dikenal dengan nama ilmiah Mitragyna speciosa, telah lama digunakan oleh masyarakat di beberapa wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk keperluan medis tradisional. Daun ini dipercaya memiliki efek analgesik, stimulan, dan dapat membantu mengatasi kecanduan opioid.
Peneliti dari Pusat Riset Vaksin dan Obat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Masteria Yunovilsa Putra menjelaskan, opioid adalah sekelompok obat yang bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan efek pereda nyeri dan euphoria.
“Sebagian besar opioid menghasilkan efek analgesik, dengan mengaktifkan reseptor mu-opioid. Namun demikian, penggunaan beberapa senyawa opioid dalam jangka panjang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan seperti toleransi terhadap dosis analgesik, depresi pernafasan dan konstipasi,” ujar Masteria di Jakarta, Selasa (02/07).
Banyak pengguna kratom melaporkan bahwa daun ini membantu mereka mengatasi rasa sakit kronis, kecemasan, dan depresi. Selain itu, kratom juga disebut-sebut sebagai alternatif yang lebih aman dibandingkan obat-obatan opioid yang dapat menyebabkan ketergantungan parah. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa senyawa pada kratom memiliki potensi menyebabkan efek samping seperti mual, kejang dan lain sebagainya
“Kratom juga menghasilkan efek analgesik . Efek analgesik ini disebabkan oleh kandungan alkaloid utamanya yaitu mitragynine dan turunannya seperti 7-hydroxymitragynine,” jelasnya.
Studi pengikatan radioligand terbaru kata Masteria menunjukkan bahwa beberapa senyawa alkaloid dari kratom memiliki afinitas pengikatan yang lebih rendah pada reseptor mu-opioid dibandingkan dengan morfin. Dengan demikian, mitragynine kratom jauh lebih aman sebagai agen analgesik daripada morfin.
“Studi aktivitas analgesik secara in vivo yang kami lakukan dengan menggunakan hotplate menunjukkan bahwa ekstrak alkaloid kratom dengan kandungan senyawa mitragynine sekitar 46 persen menimbulkan efek analgesik terhadap rasa sakit akibat panas yang diinduksi oleh hotplate pada hewan coba (baca : mencit).
Berdasarkan hasil penelitiannya, pemberian ekstrak alkaloid kratom secara kronis selama sepuluh hari pada hewan coba menunjukkan bahwa efek analgesik alkaloid kratom hampir sama dengan efek analgesik yang ditimbulkan morfin.
“Sebagaimana halnya ditemukan pada studi yang lain efek morfin mengalami penurunan (toleransi terhadap dosis analgesik) pada hari kelima treatment, sementara ekstrak alkaloid kratom dapat menunda efek toleransi hingga hari ke-10,” terangnya.
Efek analgesic yang dimiliki oleh alkaloid kratom memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam bidang kesehatan. Salah satu nya adalah penggunaan ekstrak alkaloid kratom sebagai adjuvant untuk pengobatan kanker bersama penggunaan dosis rendah obat antikanker doxorubicin dalam menghambat pertumbuhan sel kanker secara in vitro yang telah kami publikasikan di jurnal ilmiah Molecules .
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Masteria yang dalam proses peer review journal juga menemukan adanya potensi alkaloid kratom untuk dikembangkan sebagai obat antiinflamasi yang mampu menurunkan efek samping yang biasa ditemui pada obat-obatan anti inflamasi golongan non steroid (non-steroid antiinflammatary drugs) secara in vitro.
“Aktivitas ini ditenggarai karena adanya mekanisme dual inhibisi dari senyawa alkaloid kratom terhadap enzim yang berperan dalam proses inflamasi,” jelasnya.
Menurutnya, di Indonesia, khususnya di daerah Kalimantan, kratom menjadi komoditas penting bagi petani lokal. Ekspor daun kratom ke mancanegara memberikan pendapatan yang signifikan bagi mereka.
Dalam bidang kesehatan, kratom memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk bahan baku obat. Namun demikian, penggunaan ekstrak dari alkaloid kratom dalam dosis tertentu diindikasikan dapat memberikan efek samping.
“Oleh karena itu, regulasi yang tepat diperlukan tanpa mempengaruhi mata pencaharian para petani tersebut dan memberikan efek negative pada masyarakat. Penelitian lebih lanjut dan dialog terbuka antara pemerintah, ahli kesehatan, dan masyarakat diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang adil dan bijaksana terkait penggunaan dan pengembangan daun kratom,” pungkasnya.
(Redaksi)















