Representasi perempuan dalam bidang politik masih jauh dari harapan. Kalimantan Timur salah satunya. Pemilihan gubernur Kaltim 2024, tak ada satu pun sosok perempuan yang berlaga. Termasuk pada Pilgub 2018. Di Pilkada Kabupaten/Kota, paslon juga didominasi laki-laki.
Seperti Kutai Kartanegara, tiga paslon yang bakal berlaga, semuanya laki-laki. Begitu pun Kutai Barat dan Balikpapan. Sementara, Kutai Timur dua paslon juga semua laki-laki. Samarinda yang melawan kotak kosong, paslon juga laki-laki.
Kandidat perempuan baru ada di Berau yaitu Sri Jurniasih, di Penajam Paser Utara ada Dayang Dona Walfiaries Tania, dan Paser ada Syarifah Masitah Assegaf. Sementara di Mahakam Ulu dan Bontang, ada dua perempuan yang bersaing. Di Mahakam Ulu ada Novita Bulan dan Owena Maya Shari Belawan. Sedangkan di Bontang ada Neni Moerniaeni dan Najirah.

Minimnya peran perempuan tidak hanya di laga eksekutif. Legislator perempuan di Kaltim juga sedikit. Tak sampai 30 persen. Dari 53 anggota DPRD Kaltim 2024-2029 yang baru dilantik, hanya ada delapan perempuan. Dari enam dapil, Kutai Kartanegara menjadi satu-satunya dapil yang tak punya perwakilan perempuan di Gedung Karang Paci. Wakil perempuan paling banyak ada di Dapil Bontang, Kutai Timur, dan Berau, yang memberikan tiga kursi untuk perempuan.
Mengecilkan Kekuatan Perempuan
Padahal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat setiap tahunnya, jumlah pemilih perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda. Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Titi Eko Rahayu mengungkapkan masih minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tentu menjadi keprihatinan yang mendalam sebab mengecilkan kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang politik.
“Perempuan yang maju dalam bursa Pilkada, masih banyak yang dipertanyakan kemampuannya. Selain itu, perempuan juga masih saja mendapat stereotip sebagai orang yang tak pantas memimpin. Keadaan diperburuk dengan karakteristik sistem politik Indonesia didominasi budaya patriarki, yang memandang perempuan sebagai sosok lemah dan tidak bermanfaat. Padahal kehadiran perempuan di bidang politik sangat penting untuk pengambilan keputusan dan kebijakan berperspektif gender. Hal-hal inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enggan untuk berbicara terbuka, malu, tidak percaya diri jika berkiprah pada bidang politik,” ungkap Titi Eko seperti dilansir dari laman Kemen PPPA.

Titi Eko juga mengungkapkan berbagai tantangan yang masih harus dihadapi perempuan dalam kontestasi pilkada, diantaranya kekerasan perempuan dalam pemilu, baik kekerasan fisik maupun psikis, kemudian belum adanya standar atau proses rekrutmen khusus bagi kandidat perempuan. Serta belum ada partai yang mengatur program tindakan afirmatif untuk mempromosikan kandidat perempuan. Oleh karena itu, menjadi penting untuk para perempuan calon kepala daerah (cakada) memiliki gender awareness dan memerhatikan isu gender dalam kampanye Pilkada, di samping memahami isu aktual daerah dan tugas fungsi cakada.
“Keterwakilan perempuan sebagai cakada juga mewakili suara serta kepentingan perempuan dan anak. Maka dari itu, menjadi tugas kita bersama sebagai pemilih untuk memastikan apakah program yang ditawarkan cakada perempuan mampu menjawab isu perempuan dan anak di daerahnya, kemudian komitmen politik yang dibangun menyelesaikan permasalahan sampai ke akarnya, dan tidak adanya pelanggaran, sekaligus tetap menciptakan pilkada yang ramah perempuan dan anak. Kita juga harus memastikan bahwa Pilkada Serentak tahun ini bebas dari diskriminasi bagi perempuan, baik peserta maupun pemilih,” ujar Titi Eko.
Ingatkan Jangan Salah Pilih
Titi menghimbau kontestan Pilkada Serentak 2024 agar dalam kampanye dan penggunaan media sosial untuk tidak merendahkan harkat jenis kelamin manapun, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, para kontestan dan publik agar menjadikan Pemilu 2024 bersih dari upaya tindakan stigmatisasi dan eksploitasi perempuan. Hal ini perlu diperhatikan, terutama dalam penggunaan jargon, tagline, dan komentar, baik dalam alat peraga kampanye maupun di media sosial.
Sementara itu, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengungkapkan seluruh pihak harus bersinergi untuk saling mengingatkan dan mendukung penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang bebas dari diskriminasi bagi perempuan. Pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan CEDAW telah menjadi hukum positif Indonesia.
“Konvensi CEDAW menegaskan diskriminasi terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, perempuan memiliki hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dinikmati oleh perempuan atas dasar persamaan, kesetaraan dan keadilan dengan laki-laki dan konvensi juga mewajibkan negara untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi perempuan. Dalam penyelenggaraaan Pemilu dan Pilkada, prinsip dasar CEDAW harus kembali digaungkan agar dalam prosesnya bebas dari diskriminasi, baik terhadap perempuan sebagai peserta maupun pemilih,” ujar Titi.
Titi mengungkapkan selain pada perempuan politik sebagai peserta, perempuan sebagai pemilih juga dihadapkan pada sejumlah tantangan mulai dari belum banyak narasi terkait kebutuhan/peran perempuan dalam visi misi dan program Pilkada 2024, multiple burden atau beban ganda perempuan yang membuat perempuan bisa semakin tereksklusi ketika informasi dan pendidikan kepemiluan (voter information and education) tidak tersampaikan secara aksesibel dan komprehensif. Selain itu, perempuan adalah pemilih yang loyal, karena itu perempuan menjadi sasaran lebih besar dari praktik jual beli suara. Serta relasi patriarkis mengakibatkan pemaksaan pilihan kepada perempuan atau anak perempuan. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mencari tahu dan memahami agar tidak salah pilih dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak, mulai dari visi, misi, dan program para Calon Kepala Daerah.
“Meskipun melihat proporsi keterwakilan perempuan yang masih jauh dari 30% kuota pada Pilkada 2024. Setidaknya Pilkada tahun ini dapat menjadi titik balik yang baik dalam kiprah perempuan politik dengan hadirnya tiga perempuan cakada di Jawa Timur. Kompetisi antara tiga perempuan cakada tersebut dapat menjadi titik balik gerakan mendukung keterwakilan perempuan dalam politik, dimana siapapun pemenangnya merupakan perempuan. Sinergitas berbagai pihak, mulai dari Pemerintah, Partai Politik, hingga masyarakat dirasa perlu diperkuat ke depannya agar keterwakilan perempuan sebagai peserta pemilu/pilkada dapat mengalami peningkatan,” tutup Titi. (Sirana.id)















