Jakarta – DPR RI Periode 2019-2024 menyisakan banyak kesuksesan yang tertunda –jika itu dimaknai sebagai arti kegagalan–. Setelah jeritan pekerja rumah tangga dan masyarakat adat tak juga buat undang-undang untuk mereka disahkan, bidang agraria juga punya nasib tak beda jauh. DPR dianggap tak bertaji mengevaluasi konflik agraria yang terus bermunculan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai kinerja DPR RI 2019-2024 memiliki berbagai catatan negatif di bidang agraria yang mestinya menjadi perhatian penghuni Senayan ke depan.
Pertama KPA mencatat tidak ada evaluasi mendasar dari DPR RI terhadap pelaksanaan agenda reforma agraria selama 5 (lima) tahun terakhir terhadap Presiden Jokowi. Hal ini mengakibatkan implementasi reforma agraria jalan di tempat. Bahkan pelaksanaannya dimanipulasi sebatas bagi-bagi sertifikat dan menciptakan liberalisasi agraria melalui pasar tanah.
Berdasarkan Catatan KPA selama 2015-2023, Presiden Joko Widodo melalui Menteri ATR/BPN RI hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektar dari 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar (ATR/BPN, 2023).
Kedua, tidak ada dialog partisipatif dan bermakna yang dilakukan DPR RI bersama perwakilan petani, rakyat dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurai dan membenahi masalah konflik agraria yang terus meningkat di berbagai wilayah dari waktu ke waktu.
“Hasilnya, konflik agraria di lima tahun terakhir terus menumpuk, menjadikan satu dekade Pemerintahan Presiden Jokowi sebagai era tertinggi letusan konflik agraria dengan 2.939 kasus (2015-2023),” papar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam keterangan tertulisnya.
Lalu, DPR RI bersama Pemerintah justru menjadi motor utama lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang telah mengamputasi puluhan kebijakan pro rakyat di bidang agraria dan mengkhianati Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Alih-alih melahirkan produk legislasi yang memenuhi harapan kaum tani dan gerakan reforma agraria.
KPA juga menekankan, DPR RI gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pengontrol jalannya pemerintahan. Berbagai kebijakan investasi dan pembangunan yang mengarah pada praktik-praktik perampasan tanah berjalan tanpa peringatan keras dari wakil rakyat di parlemen.
“Sebut saja pembentukan Lembaga Bank Tanah, percepatan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), Pengampunan Keterlanjuran Bisnis Ilegal Kehutanan, Tambang dan Sawit. Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), Food Estate, impor pangan, HPL, HGU 190 tahun dan HGB 180 tahun di IKN, Perhutanan Sosial (PS) dan kebijakan Distribusi manfaat (Perkebunan Sosial) di wilayah-wilayah konflik akibat klaim PTPN dan suburnya praktik korupsi agraria-mafia tanah yang semakin meminggirkan kehidupan kaum tani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainya,” jelasnya.
Selain lemahnya komitmen pimpinan DPR terhadap agenda ini, secara teknis, persoalan klasik kelembagaan yang telah berlangsung sejak Orde Baru menjadi salah satu hambatan kinerja monitoring dan evaluasi yang dilakukan DPR RI selama ini.
Terutama mengenai terpisah-pisahnya pembagian komisi yang memantau Kementerian/Lembaga di bidang agraria, seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa PDTT, dan Badan Geo Spasial. Situasi ini membuat koordinasi pengawasan lintas komisi dan K/L melambat dan melemah.
“Atas catatan kritis di atas, kami mengingatkan seluruh Anggota DPR RI dan DPD RI terpilih ke depan secara serius dan konsekuen bekerja untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan agenda reforma agraria. DPR RI dan DPD RI sudah selayaknya mengembalikan mukanya sebagai wakil rakyat yang memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan dan mengawasi kinerja pemerintahan sesuai dengan mandat UUPA 1960,” pungkasnya. (Sirana.id)