JAKARTA – Sebuah edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada akhir 2021, membuka ruang bagi seorang ibu tunggal agar namanya bisa tertulis di ijazah anaknya. Namun, pada kenyataannya, surat edaran ini tidak benar-benar dipahami dan diimplementasikan.
Dalam rilisnya, Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menyampaikan Komnas Perempuan mencatat temuan mengenai hambatan-hambatan dalam pelaksanaan surat edaran tersebut. Juga memengaruhi bias gender dalam acara pelepasan peserta didik di sekolah. Di mana sering kali hanya nama ayah yang dicantumkan. Untuk itu, Komnas Perempuan memandang perlu adanya langkah bersama untuk menindaklanjuti surat edaran tersebut masih adanya praktik-praktik bias gender dalam pendidikan.
Merespons Komnas Perempuan, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek. Suharti menyampaikan bahwa Kemendikbudristek tengah menyusun rancangan peraturan menteri terkait ijazah yang tidak lagi mencantumkan nama orang tua, berdasarkan data terbaru. Dalam kesempatan yang sama, Kepala Biro Hukum Kemendikbudristek, Ineke Indraswati, menjelaskan bahwa peraturan ini akan disahkan dan mulai berlaku pada tahun ajaran mendatang.
Ijazah tersebut juga akan mengadopsi sistem digitalisasi, karena data siswa sudah tercatat di data pokok pendidikan (Dapodik). Informasi yang tercantum dalam ijazah nantinya hanya mencakup nomor ijazah, tahun, nama, tempat dan tanggal lahir, nomor induk siswa nasional (NISN), sekolah, dan nomor pokok sekolah nasional (NPSN). Nama orang tua akan tetap ada dalam database, namun tidak ditampilkan di ijazah.
Kemendikbudristek menghadapi kendala dalam penggunaan blangko ijazah, terutama ketika blangko tersebut rusak, yang dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan.
“Dengan ijazah digital, setiap siswa hanya akan memiliki satu nomor induk, yang juga meningkatkan aspek keamanan,” jelas Ineke Indraswati, Kepala Biro Hukum Kemendikbudristek.
Keputusan untuk tidak mencantumkan nama orang tua pada ijazah juga mengikuti kebijakan yang berlaku di perguruan tinggi dan beberapa negara lain. “Ini juga untuk mengantisipasi kesalahan penulisan nama yang sering terjadi setiap tahun jika tidak menggunakan sistem digital,” tambah Suharti.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, mengapresiasi rencana Kemendikbudristek dalam merumuskan peraturan menteri terkait ijazah ini. Ia menyatakan bahwa Komnas Perempuan akan terus mendorong Kemendikbudristek untuk menghapus praktik-praktik bias gender dan mengarusutamakan perspektif gender. Sehingga pengakuan terhadap peran ibu dalam pendidikan anak dapat lebih optimal. (Sirana.id)