Samarinda – Senin (18/10), puluhan orang terbaring di Jalan Gajah Mada. Tepat di depan kantor Gubernur Kaltim. Spanduk dibentangkan. Aksi itu jadi puncak kekesalan. Sebab, tambang telah mencabut nyawa masyarakat Kalimantan Timur. Tidak hanya anak-anak yang tewas di kolam tambang, atau pekerja yang terkena kecelakaan kerja. Tetapi juga pengendara motor yang ditabrak truk batu bara yang seharusnya tak ada di jalan umum.
Lalu, yang terbaru dan bikin geram, terang-terangan masyarakat meregang nyawa karena memperjuangkan haknya. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 04.30 WITA, saat enam warga tengah beristirahat di Pos Penjagaan Hauling Batubara yang menggunakan fasilitas umum. Satu orang meninggal dunia atas nama Rusel (60 tahun) salah satu tokoh masyarakat adat Dayak Deah, satu lainnya Anson (55 tahun) mengalami luka serius di bagian leher akibat senjata tajam, dan saat ini dalam kondisi kritis di RS Panglima Sebaya, Tanah Grogot.
Dalam keterangan persnya, Koalisi Masyarakat Sipil menduga peristiwa ini adalah buntut dari ramainya penolakan masyarakat Paser yang menolak penggunaan jalan umum sebagai jalan angkutan batubara oleh PT MCM.
Puncak kemarahan Masyarakat terjadi pasca kendaraan angkutan batubara perushaaan itu mengalami kecelakaan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Korban adalah seorang Pendeta bernama Veronika Fitriani, yang meninggal setelah terlindas truk pengangkut batu bara milik perusahaan itu di jalan Desa Muara Langon, Kecamatan Muara Komam, Paser, pada 26 Oktober 2024.
Protes masyarakat sudah terjadi sejak Bulan Desember 2023 Selama dua hari, Masyarakat Desa Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang, memblokir dan menghadang konvoi truk pengangkut batubara. Masyarakat sudah meminta truk untuk tidak melintasi desa mereka. Bukannya mendengarkan tuntutan masyarakat puluhan Truck tetap memaksa melintasi jalan umum dengan menabrak Portal penjagaan serta barisan masyarakat yang sedang menghadang. Akibat pembiaran ini, masyarakat terus menjadi korban. Fakta yang terjadi saat ini adalah bukti nyata dari kelalaian dan ketidak seriusan para pejabat dalam melindungi hak-hak rakyat dan menjaga fasilitas publik.
“Keberpihakan pemerintah pada kepentingan industri tambang telah menciptakan bencana nyata bagi kehidupan masyarakat Kaltim,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil dalam rilisnya.
Dibangunnya Pos penjagaan adalah bentuk respon warga dalam mengawal janji Pemerintah Daerah beserta Aparat Penegak Hukum, pasca pertemuan pada 28 oktober 2024. Hal lainnya, hadirnya Pos Penjagaan Warga karena tidak adanya inisiatif Polres Kabupaten Paser, dalam menempatkan Pos Penjagaan. Kemarahan warga tersebut bukan muncul seketika, melainkan rentetan konflik tak berkesudahan. Secara konsep ideal hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur secara konstitusional sehingga pejuang lingkungan hidup yang baik dan sehat juga harus dilindungi oleh negara. Namun yang terjadi saat ini negara melalui pemerintah gagal untuk melindungi dan menjamin hak konstitusional tersebut. Disisi lain Perda Kaltim No. 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus Untuk Kegiatan Pengangkutan Batubara dan
Kelapa Sawit dalam Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa setiap angkutan Batubara dan kelapasawit dilarang melewati jalan umum. Kemudian Pergub Kaltim 43 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Jalan Umum Dan Jalan Khusus Untuk Kegiatan Pengangkutan Batubara Dan Kelapa Sawit juga menyatakan larangan bagi setiap angkutan Batubara dan kelapa sawit untuk melewati jalan umum.
Namun Gagalnya negara dalam menjamin keselamatan rakyat menjadi akar permasalahan dari sengkarut konflik ini. Lemahnya penegakan hukum, saling lempar tanggung jawab, sertasikap cuci tangan pejabat publik menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakseriusan pemerintah juga aparat penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan ini. Kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia ini, menunjukan ancaman yang serius sedang dihadapi masyarakat yang tengah berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari bandit perusak lingkungan. Ironisnya, masyarakat yang terus berada digaris depan melawan kejahatan lingkungan dibiarkan berjuang sendiri tanpa perlindungan memadai dari negara. (Sirana.id)















