SAMARINDA – KPU Kaltim menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 2.821.202 jiwa. Terdiri dari 1.456.666 pemilih laki-laki dan 1.364.536 pemilih perempuan. Suara ini jika tidak dicurangi, akan jadi penentu pemimpin sepuluh kabupaten/kota di Kalimantan Timur juga gubernur/wakil gubernurnya. Namun, hingga saat ini, para aktivis menilai urusan penting di Kaltim tidak berhasil dijamah para paslon. Visi dan misi pun, hanya formalitas dan tidak ada yang begitu mengena.
Hal ini dibahas para aktivis, budayawan, pemuda, dan media dalam diskusi bertajuk Ngopi (Ngobrol Pilkada) Kaltim pada Jumat (27/9/2024).
Fathul dari LBH Samarinda keheranan. Kondisi Pilkada Kaltim tampak adem ayem. Padahal ada kegagalan partai politik di depan mata. Misalnya, bagaimana ada kemunculan kotak kosong yang mengindikasikan kegagalan partai politik memberikan pilihan untuk masyarakat. Juga bagaimana politik uang terjadi, dinasti politik, dan opsi tokoh calon kepala daerah yang itu-itu saja.
“Salah satu tugas partai politik itu kan memberikan pendidikan politik,” kata dia.
Hasil dari pendidikan politik yang kacau ini, membuahkan pemerintahan yang berantakan. Alih-alih memikirkan bagaimana cara menciptakan sebuah wilayah yang nyaman dihuni dan menyejahterakan rakyatnya, politisi harus putar otak untuk balik modal. Sebab, biaya politik yang dia pilih cukup mahal.
Dalam forum yang sama, koordinator Pokja 30 Samarinda Buyung Marajo juga menyampaikan padahal tiap orang di Kaltim yang akan memilih, telah dianggarkan. Penyelenggaraan pemilu yang menghabiskan uang miliaran ini, ternyata tidak benar-benar bisa menghasilkan pemimpin dan kebijakan yang mampu mengangkat kesejahteraan seluruh masyarakat.
“Bahkan, untuk pelaporan partai politik itu bermasalah. Hanya satu partai yang pelaporan keuangannya itu bagus,” sambungnya.
Sedangkan, soal visi misi yang sudah dipublikasi para paslon, juga menurutnya tidak wah. Mereka memasukkan menyejahterakan masyarakat, komitmen pendidikan dan lainnya dalam visi misi. Padahal, tanpa dimasukkan ke visi misi, hal itu sudah kewajiban pemerintahan.
Masyarakat pun harusnya mendapatkan pilihan yang lebih baik. Jangan hanya menentukan keluarga siapa yang berkuasa, petahana yang tidak mampu menyelesaikan programnya dengan baik. Juga, penyelenggara pilkada dan pengawasnya harus benar-benar netral dan independen.
Walaupun, Fathul menyebut hal ini agak susah. Sebab, untuk menentukan siapa penyelenggara dan pengawas pilkada, juga mesti ada rekomendasi yang rentan sarat kepentingan. (Sirana.id)
baca juga: Bagaimana Minimnya Perempuan Dalam Kontestasi Politik Kaltim















