Balikpapan – Mekanisme penyaluran insentif dana karbon, menjadi perbincangan yang menarik perhatian dalam Kalimantan Jurisdictional Emission Reduction Program (EK-JERP) Discussion, pekan lalu.
Untuk diketahui, Kalimantan Timur (Kaltim) kini menjadi percontohan bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk menerapkan program Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF). Sebuah skema pembiayaan dari Bank Dunia dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Sementara itu, melansir dari laman DPMPD Kaltim dalam diskusi EK-JERP, para peserta menekankan bahwa keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari pengurangan emisi. Tetapi juga dari sejauh mana program tersebut memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat lokal.Peserta diskusi sepakat bahwa diperlukan pembahasan mendalam mengenai mekanisme bankeu provinsi yang akan digunakan untuk menyalurkan dana ke desa dan kelompok masyarakat. Selain itu, pentingnya alokasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota juga disoroti agar manfaat tersebut dapat menjangkau kelurahan secara lebih langsung dan efisien.
Namun, terdapat tantangan nyata dalam penyaluran manfaat yang telah dirasakan oleh lembaga masyarakat atau lemtara. Banyak peserta mengeluhkan lambannya proses administrasi yang diakibatkan oleh rendahnya kapasitas pelaksana lemtara. Hal ini berimbas pada berkurangnya alokasi manfaat yang diterima oleh desa, kelurahan, dan kelompok masyarakat. Oleh karena itu, diskusi mengarah pada perlunya perbaikan sistem dan prosedur agar penyaluran manfaat bisa dilakukan lebih cepat dan tepat sasaran.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi administrasi, diusulkan agar dalam menyusun rencana kegiatan (proposal), tidak perlu melakukan musyawarah ulang. Sebab, masyarakat sudah melakukan musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ini diharapkan bisa mempercepat proses dan mengurangi beban administrasi yang seringkali menjadi kendala. (sirana.id)