JIKA Anda berpikir Balikpapan atau Samarinda jadi kota dengan penduduk yang paling banyak hidup di rumah sempit, sepertinya Anda harus membaca artikel Sirana.id. Sebab, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, per 2023 justru menunjukkan, masyarakat di kabupaten terluas di Kaltim lah, yang hidupnya banyak di rumah sempit. Rumah layak huni di Kaltim pun masih jadi pekerjaan rumah.
Di Kaltim, mayoritas rumah tangga hidup dengan luas lantai 50-99 meter persegi, dengan persentase 43,77 persen. Sementara, 1,61 persen hidup di rumah dengan luas kurang dari 19 meter persegi. Dari 10 kabupaten/kota, Kutai Timur jadi daerah paling banyak rumah tangga yang hidup dengan rumah kurang dari 19 meter persegi. Sebanyak 2,41 persen warganya hidup di rumah kecil. Terpaut sedikit dengan Balikpapan yang mencapai 2,22 persen dan Samarinda yang 2,03 persen. Padahal, dibandingkan luas wilayah, Kutai Timur terpaut jauh dengan Samarinda dan Balikpapan. Kutai Timur memiliki luas 35,7 ribu kilometer persegi. Sedangkan, Samarinda hanya 718 km persegi dan Balikpapan 533 km persegi.
Sulitnya Punya Hunian Layak
Namun, hunian bukanlah hal yang mudah dijangkau. Alih-alih membeli, banyak keluarga muda yang baru sanggup menyewa rumah. Seperti Yusuf (28) yang hidup bersama istri dan seorang anaknya, di sebuah rumah bangsalan yang dia sewa di tengah kota Samarinda. Dia membayar Rp 800 ribu tiap bulan belum listrik dan air untuk bangunan kayu dengan luas 15 meter persegi.
“Sebenarnya, pernah ajukan perumahan. Tapi tidak lolos KPR nya. Padahal sudah keluar modal. Kalau perumahan Jokowi (subsidi) juga cicilannya satu jutaan, agak mepet sama gaji saya yang cuma UMR,” kata dia.
Padahal, Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia No. 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RS Sehat) memuat ukuran ideal untuk sebuah rumah, yaitu 7,2 m²/jiwa. Sementara itu, SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan menyatakan bahwa luas ruang ideal untuk rumah adalah 9 m²/jiwa. Pada ukuran tersebut, telah diperhitungkan daya dukung dan daya tampung dari sebuah rumah terhadap penghuni di dalamnya.
Artinya, mereka yang tinggal di rumah dengan luas kurang dari 19 meter persegi, harusnya hanya diisi dua orang. Jika jumlah anggota keluarga lebih dari dua, maka akan mengganggu kelayakan dan kesejahteraan hunian di dalamnya. Sebab, luas rumah berkaitan dengan wadah ruang gerak bagi penghuninya, seperti kegiatan tidur, makan, masak, duduk, cuci, kakus, dan lain sebagainya. Semakin banyak penghuni di dalam satu rumah, maka akan mempengaruhi kenyamanan antar penghuni, seperti terbatasnya gerak di dalam satu rumah dan menurunnya fungsi fasilitas dalam melayani para penghuni. Maka dari itu, luas minimum bangunan termasuk dalam indikator rumah layak huni.
Usaha Pemprov Kaltim Untuk Hunian
Kalimantan Timur juga memiliki program rumah layak huni di Kaltim. Saat ini, pemerintah masih kejar target. Kepala Biro Administrasi Pembangunan Irhamsyah pada akhir Agustus 2024 telah menyampaikan ke wartawan, dari 508 target pembangunan rumah layak huni di Kaltim, 310 sudah berhasil terbangun.
“Samarinda dan Kutai Timur menjadi daerah dengan jumlah pembangunan RLH terbanyak,” ucapnya.
Rumah yang dibangun ada dua tipe yaitu tipe 36 dan 45. Ada yang konstruksinya beton dan ada pula yang kayu. Program ini sudah berjalan sejak 2022. Program rumah layak huni ini, disebutnya sebagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat.
Selain soal luas lantai, akses fasilitas untuk buang air besar di setiap rumah juga jadi pertimbangan. Namun, di Kaltim masih ada 6,42 persen rumah tangga yang tak memiliki fasilitas buang air besarnya sendiri.
Rencana Gunakan Dana Abadi
Sementara itu, Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat Provinsi Kalimantan Timur (DPUPR PeraKaltim) tengah menyusun regulasi kebijakan pembiayaan perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui Dana Abadi Daerah (DAD) Provinsi Kaltim.
Dalam proses penyiapan regulasi kebijakan tersebut, DPUPR Pera Kaltim menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama Kementerian PUPR, Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Pembiayaan dan Perekonomian Daerah Kementerian Keuangan, serta instansi terkait di lingkungan Pemprov Kaltim.
Kepala DPUPR Pera Kaltim, Aji Muhammad Fitra Firnanda menyebut, rapat FGD dimaksudkan sebagai sarana memberikan masukan dan saran dalam percepatan penyusunan kebijakan pembiayaan perumahan MBR melalui DAD Provinsi Kaltim.
"Melihat kondisi di Kaltim bahkan secara nasional juga sama. Angka backlog perumahan kita banyak, dan SILPA kita tinggi. Jadi harapannya, dari Dana Abadi Daerah kita bisa manfaatkan untuk menuntaskan persoalan ini," kata Nanda pada Juli lalu.
Dia pun menargetkan, aturan soal ini bisa kelar pada Maret 2025. Dana Abadi sendiri adalah dana yang dibentuk oleh badan hukum yang bersifat abadi (tidak mengurangi pokok dana) untuk menjamin keberlangsungan sebuah program. Dasar hukum pengelolaan Dana Abadi Daerah juga diatur dalam Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa daerah dapat membentuk DAD yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (redaksi)















