HUTAN Kalimantan Timur sudah menderita akibat eksploitasi ganas. Deforestasi di provinsi ini jadi nomor wahid di Indonesia. Maka dari itu, pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan (UUK) No. 41 Tahun 1999, yang sedang berlangsung pada pertengahan tahun 2025 di Komisi IV DPR RI ini, merupakan momentum penting untuk mengakhiri tata kelola hutan di Indonesia sejak era kolonial. Hal ini, juga akan banyak menentukan nasib hutan di Kalimantan Timur yang sudah terdeforestasi masif.
Misalnya, dalam publikasi Yayasan Auriga Nusantara, Kalimantan Timur selama 2024 telah kehilangan 44.483 hektare hutannya dan jadi nomor satu di Indonesia. Di level kabupaten, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur mencatat deforestasi tertinggi, mencapai 16.578 hektare. Secara umum di Indonesia, sekitar 57 persen deforestasi terjadi pada lahan yang dikuasai negara atau kawasan hutan.
Baca selengkapnya di: Deforestasi di Kalimantan Timur Paling “Menyala” se-Indonesia
Akibatnya, di Kalimantan Timur aneka bencana iklim seperti banjir, longsor, kenaikan suhu yang nyata, hingga konflik tenurial, tak ada habisnya.
Sementara itu, dalam rilisnya, Koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi di tingkat nasional menyerukan untuk mencabut UUK lama dan mendesak DPR RI membentuk UUK baru yang lebih adil dan melindungi ekosistem hutan. Menurut Koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi.
Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan; konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.
Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa pemerintah harus menghentikan penghancuran hutan alam, baik legal maupun ilegal. Pemberian izin konsesi kehutanan di bawah rezim UU Kehutanan saat ini hanya memandang hutan sebagai sumber penerimaan negara, ketimbang penyangga kehidupan. Misalnya dalam hal penertiban kawasan hutan yang hendak mengejar penerimaan negara hanya mengalihkan pelaku deforestasi, bukan menyelesaikan masalah mendasar tata kelola kehutanan.
Dia menambahkan, setidaknya terdapat 42,6 juta hektar hutan alam di dalam tiga kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, tetap dan yang dapat dikonversi) yang terancam deforestasi di masa mendatang. Kebijakan moratorium pemberian izin di hutan dan gambut di level Inpres pun tidak cukup kuat. Apalagi, faktanya kita masih melihat deforestasi dan kebakaran di area yang sudah dimoratorium. Data terakhir menunjukkan hilangnya 39 ribu hektare hutan alam di area moratorium sepanjang 2024.
“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik “monetisasi hutan” dan
menyelamatkan 90,7 juta hektar hutan alam tersisa, memihak pada masyarakat adat,
perlindungan biodiversitas dan iklim,” kata Refki.
Padahal hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yakni masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan. Koalisi memandang secara filosofis, UU 41/1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Secara sosiologis, UU 41/1999 telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural. Sementara secara yuridis, UU 41/199 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut Pasal-pasal di UU Kehutanan.
“Karena itu, Koalisi berpendapat bahwa UU Kehutanan No.41/1999 sudah tidak layak lagi dipertahankan,” jelas Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia, saat berbicara di konferensi pers daring Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Kehutanan 2025, 14 Juli 2025. (ff/Sirana.id)
Baca Juga: Laut Kalimantan Timur Dilirik, Sebab Hutan Kaltim Habis















