JAKARTA – Minyak jelantah, atau minyak bekas menggoreng makanan, bukan lagi merupakan isu kesehatan saja melainkan sudah bergeser menjadi isu energi dan ekonomi.
Naskah akademik yang telah disusun oleh Traction Energy Asia bersama pusat kajian sejak 2023, didasari oleh penelitian yang dilakukan oleh Traction Energy Asia pada tahun 2022. Dalam studi tersebut, ditemukan ada potensi minyak jelantah yang ditemukan di 5 kota besar Jawa dan Bali, di antaranya 34.164,84 kiloliter/tahun di sektor rumah tangga dan 18.115,68 kiloliter/tahun di sektor usaha mikro.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa, 71,88% rumah tangga dan 58,08% pegiat usaha mikro menyetujui adanya pengumpulan minyak jelantah. Sehingga selain potensi bahan baku, juga berpotensi memberi keuntungan ekonomi.
Jika tidak diatur, maka akan segera terjadi kegagalan pasar. Kegagalan pasar ini terjadi akibat adanya informasi yang asimetris dan eksternalitas.
Asimetris akan menyebabkan ketidakseimbangan informasi, di mana hanya salah satu pihak saja yang memperoleh keuntungan, dan menghambat kegiatan pasar secara efisien. Sementara, eksternalitas berarti biaya atau manfaat minyak bekas (used cooking oil atau UCO) yang ditimbulkan oleh produsen tidak terefleksi dalam harga sebuah produk.
Menurut Sudaryadi, Direktur Program Traction Energy Asia, kegagalan pasar ini dapat terjadi karena sampai saat ini pemerintah belum mengatur status minyak jelantah sebagai komoditas atau limbah.
“Jika dianggap sebagai limbah, maka harga minyak jelantah di pasar sudah terlalu tinggi. Sangat krusial agar pemerintah segera mengatur dan menetapkan harga,” katanya dalam diskusi peluncuran naskah akademis tata kelola dan tata niaga minyak jelantah di Jakarta pada Senin, 5 Agustus 2024.
Naskah akademik hasil kajian Traction Energy Asia dan tim peneliti Pusat Kajian Hukum Lingkungan dan Keadilan Iklim Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) itu, akan menjadi rekomendasi bagi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi merampungkan Peta Jalan Nasional Pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bahan bakar nabati untuk aviasi di Indonesia.
Andri Gunawan Wibisana, Direktur Pusat Kajian yang juga merupakan Guru Besar FHUI menuturkan, bahwa setidaknya ada sepuluh hal penting yang perlu diatur dalam ruang lingkup pengaturan pengelolaan komersial UCO. Mulai dari pendefinisian secara hukum terkait minyak jelantah, instrumen pencegahan dampak negatif, hingga pengaturan harga jual.
Andri menegaskan bahwa perlu dilakukan pengaturan terhadap penentuan harga maksimum minyak jelantah oleh Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral. Selain itu, pengenaan tarif ekspor menjadi hal penting lainnya dalam tata kelola dan tata niaga minyak jelantah. “Karena kebutuhan akan biofuel dan UCO itu akan menjadi tinggi. Dan ini kalau tidak diatur akan menyebabkan inflasi atau greenflation,” katanya. (Redaksi)