Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa) RI, mencatat 660 kasus kekerasan di Kalimantan Timur, selama 2024 ini. Sebanyak 627 perempuan jadi korban. Pelaku pun mayoritas orang dekat. Hal ini menunjukkan, Perempuan masih dalam bayang-bayang kekerasan.
Masih merujuk data Kemenppa RI, pelaku kekerasan masih mayoritas laki-laki. Kebanyakan adalah pasangan mereka. Seperti suami, pacar, atau teman.
Perempuan muda, kerap jadi korban pada relasi pacaran. Bentuk-bentuk kekerasan berpotensi terjadi dalam relasi tersebut. Namun, status pacaran tidak diakui secara hukum dan negara.
Data pengaduan Komnas Perempuan dan Lembaga Layanan terkait bentuk Kekerasan terhadap Perempuan di ranah publik pada tahun 2023 memperlihatkan bahwa kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang paling tinggi diadukan oleh korban dalam ranah publik ke Lembaga Layanan mencapai 50% dan ke Komnas Perempuan mencapai 68%.
Bentuk kekerasan psikis (24%) di ranah publik pada pengaduan ke Komnas Perempuan menempati urutan kedua, sementara kekerasan psikis pada pengaduan di lembaga layanan memiliki persentase yang sama dengan kekerasan fisik sebesar 22% dari total kasus. Selain itu, data kasus kekerasan ekonomi terhadap perempuan juga menarik perhatian yang masing – masing di Lembaga Layanan sebesar 6% dan di Komnas Perempuan sebesar 3%. Kekerasan ekonomi ini mencakup masalah seperti pembayaran gaji yang tidak sesuai, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, upah yang tidak sebanding dengan beban kerja, penipuan, dan ketidakbayaran lembur.
Data Komnas Perempuan dan lembaga layanan mengungkapkan data alarm tentang kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan seksual berbasis elektronik mencapai puncak tertinggi dengan 991 kasus, menyumbang 35,4% dari total kasus. Pelecehan seksual menempati posisi kedua dengan 711 kasus. Data juga mencatat 180 kasus pencabulan, 143 kasus perkosaan, dan 72 kasus persetubuhan. Sementara itu, terdapat 575 kasus lain yang melibatkan kekerasan seksual.
Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur Noryani Sorayalita mengungkapkan bahwa kasus kekerasan dalam lima tahun terakhir di Kalimantan Timur (2019 – 2023) mengalami peningkatan yang signifikan.
Menurut Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) terjadi kenaikan penginputan kasus secara signifikan di Tahun 2023 yaitu 1108 kasus, lebih banyak 163 kasus dari jumlah kasus di Tahun 2022. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2019, sebanyak 623 kasus, tahun 2020 sebanyak 656 kasus, tahun 2021 sebanyak 551 kasus, tahun 2022 sebanyak 946 kasus dan tahun 2023 sebanyak 1108 kasus.
Sebelumnya dia menjelaskan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah melakukan upaya dengan pembentukan Pusat pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Sasaran pelayanan PUSPAGA diberikan kepada anak, orang tua, wali, calon orang tua, serta orang yang bertanggung jawab terhadap anak. Sementara UPTD PPPA melaksanakan kegiatan teknis operasional dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekeraan, perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, diskriminasi, perlindungan khusus anak dan masalah lainnya.
Sementara itu, untuk di Samarinda sendiri, terdapat Paralegal Perempuan Muda Sebaya (PPMS). Mereka berfokus kepada pendampingan perempuan muda korban kekerasan berbasis gender.
Koordinator PPMS, Disya mengakui bahwa banyak sekali remaja yang tidak tahu bahwa dia bisa melaporkan dengan mudah. Karena di dalam UU TPKS itu sangat terperinci diatur mengenai hak-haknya dia sebagai korban.
“Misalnya ketika masih belum siap untuk melaporkan itu juga bisa mendapatkan pemulihan terlebih dahulu, kemudian juga terkait dengan alat bukti ini juga dimudahkan. Bahwa keterangan korban bisa menjadi alat bukti.”
“Kemudian juga berhak mendapatkan pendampingan gitu. Artinya berhak untuk ditemani. Misalnya masih trauma melaporkan kepolisian, maka bisa melapornya ke pendamping. Jadi nanti polisi yang akan mendengarkan rekaman korban,” paparnya.
Mengingat pula, korban kerap merasa sendiri dan kebingungan selama proses penanganan kasus. Korban perempuan muda biasanya lebih membuka diri kepada orang yang usianya setara.
“Disinilah peran paralegal Perempuan Mahardhika. Kami akan mendampingi korban untuk mendapatkan bantuan. Dari proses pelaporan hingga pasca kasusnya selesai,”katanya. (redaksi)















