PADA 2022 dan 2023 DLH Provinsi Kaltim Bersama Tim Universitas Mulawarman telah menyelesaikan pemantauan sampah laut di 6 lokasi pada 3 Kabupaten/Kota yaitu Kota Balikpapan, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kota Bontang dengan 2 periode pemantauan yaitu di bulan Maret dan Agustus. Adapun pada tahun 2024 untuk Periode 1 telah dilaksanakan di 6 lokasi pada 4 Kabupaten yaitu Kabupaten Paser, Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Berau.
“Dimana hasil pemantauan sampah laut tentunya perlu kita tindak lanjuti dengan rencana aksi Penanganan sampah laut yang memerlukan kerjasama dari semua pihak, termasuk Pemerintah, Perguruan Tinggi, Pelaku Usaha, dan Masyarakat. Semua itu hanya bisa dilaksanakan jika ada kerja bersama yang baik dengan semua pihak,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kaltim Anwar Sanusi pada medio Agustus lalu.
Melansir laman DLH Kaltim, Anwar menjelaskan, sesuai dengan Perpres Nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menangani sampah plastik sebesar 70% sampai tahun 2025. Diperkirakan 80 persen sampah di Laut Indonesia berasal dari daratan dan 30% dikategorikan sebagai sampah plastik,
“Saat ini kita telah menuju pengelolaan sampah yang berkelanjutan, praktik ekonomi sirkular. Circular economy atau ekonomi sirkular disini tidak hanya sekadar daur ulang sampah. Ekonomi sirkular adalah konsep memaksimalkan nilai penggunaan suatu produk dan komponennya secara berulang, sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang (resource efficiency),” ujarnya
Dalam konteks pengelolaan sampah, praktik sirkular ekonomi bisa diwujudkan melalui praktik pengurangan sampah, desain ulang, penggunaan kembali, produksi ulang, dan daur ulang secara langsung.
“Saya berharap setiap upaya yang dilakukan dunia usaha dapat bersinergi juga dengan program pemerintah, sehingga kita bersama-sama dapat mendukung pencapaian target penanganan sampah laut sebesar 70% pada tahun 2025,” harapnya.
Sementara itu, produksi sampah di Kaltim terus meningkat. Misal pada 2023 produksi sampah di wilayah ini yang tercatat di SIPSN mencapai 809 ribu ton. Sementara pada 2022 mencapai 791,8 ribu ton. Lalu, pada 2021 mencapai 666,3 ribu ton.
Political Will Soal Sampah Masih Minim
Berdasarkan rilis laman Badan Riset dan Inovasi Nasional Target pemerintah Indonesia dalam menurunkan kebocoran sampah plastik dari aktivitas masyarakat sebesar 70 persen pada 2025. Namun faktanya, perhitungan tahun ini baru mencapai 41,68 persen.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova menyatakan, potensi kerugian negara akibat kebocoran sampah plastik ke laut mencapai Rp 225 triliun per tahun.
“Setelah kami hitung dari 2018 sampai 2023 secara kasar, rata-ratanya kurang lebih sekitar 484 ribu ton per tahun (sampah plastik) yang bocor ke lautan dunia dari kegiatan masyarakat kita. Kerugian kita antara Rp 125 triliun sampai Rp 225 triliun per tahun,” kata Reza, pada Media Lounge Discussion (MELODI), bertajuk Kebocoran Sampah Plastik ke Laut Indonesia dan Strategi Penanganannya, di Gedung B.J Habibie, Jakarta, Rabu (11/9).
“Bisa kita bayangkan secara kasar, dari 2018 sampai 2023 ini sudah enam tahun. Sekarang masuk tahun ke tujuh. Berarti secara kasar kita sudah kehilangan Rp 2.000 triliun akibat sampah plastik,” tambah dia.
Estimasi kerugian tersebut, terang Reza, dilihat dari kerugian secara ekonomi, pariwisata, kesehatan, hingga dari sisi teknis.
BRIN, kata dia, terus melakukan penelitian dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dalam mendeteksi jenis sampah plastik. Termasuk, melibatkan akademisi dari berbagai multidisiplin ilmu.
“Karena kalau kita bicara plastik, sampah plastik ini ketika terkena sinar matahari, angin, dan lain-lain, akan jadi mikroplastik. Semakin kecil ukuran plastik, semakin mudah pula akan masuk ke dalam tubuh kita,” katanya.
Upaya lainnya, menurut Reza, perlu dilakukan proses bioremediasi yang membutuhkan waktu panjang. “Ketika sampah sudah bocor ke lingkungan, apa yang kita lakukan? Kita coba cari mikroba apa yang paling tepat untuk bisa ‘memakan’ sampah plastik itu,” ucapnya.
Reza juga menyoroti komitmen politis pimpinan daerah dalam penyediaan anggaran untuk pengelolaan sampah. Anggaran pengelolaan sampah, sebut dia, disebut optimal bila mencapai 3 hingga empat persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tapi yang terjadi saat ini, baru mencapai 0,07 persen.
“Satu persen saja enggak sampai, Itu satu problematika besar,” tandasnya. (Sirana.id)