Baru-baru ini, rasa sedih bercampur kesal, karena sebuah berita pilu dari Sumatera Barat. Seorang gadis yang berjuang untuk hidupnya dengan menjual gorengan keliling berjalan kaki, diperkosa dan dibunuh laki-laki yang tidak bisa menjaga birahinya.
Istilah femisida pun belakangan menggaung di media sosial. Komnas Perempuan mencatat, mereka menggunakan istilah femisida di CATAHU 2017. Dalam definisi Komnas Perempuan, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik (Komnas Perempuan, 2022).
Femisida, tidak hanya dilakukan mereka yang asing dengan korban. Justru, lebih banyak terjadi femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, pacar, mantan suami dan mantan pacar atau pasangan kohabitasi.
Dalam press release Komnas Perempuan, Komisioner Siti Aminah Tardi, fenomena femisida intim tampak dari pemantauan atas pemberitaan media massa tahun 2023, ditemukan terdapat 162 jenis femisida, di mana femisida intim, mencapai 67 persen dari keseluruhan kasus femisida diberitakan atau 109 kasus.
Dalam lingkup rumah tangga selain femisida intim, juga terjadi femisida atas nama kehormatan (honour killing), yaitu pembunuhan perempuan yang dilakukan demi menjaga kehormatan keluarga atau komunitas karena dianggap melakukan pelanggaran norma keluarga atau komunitas, perzinahan, diperkosa, atau hamil di luar nikah.
Seperti kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian terhadap seorang anak perempuan oleh saudara laki-lakinya atas perintah ayahnya di Bantaeng pada 2020 atau kekerasan dalam bentuk penggundulan dan pembakaran yang dilakukan seorang ayah terhadap anak perempuan yang bermain tanpa izin di Maluku Utara pada 2024.
“Sebagai puncak kekerasan berbasis gender, seharusnya KDRT dapat dicegah agar tidak berujung dengan femisida. Untuk itu semua pihak harus mengenali potensi femisida dan segera memberikan bantuan dan perlindungan. UU PKDRT sendiri sebenarnya telah mengamanatkan mekanisme perintah perlindungan, baik perlindungan sementara maupun perintah perlindungan dari pengadilan, agar kekerasan tidak berulang dan memburuk,” ujarnya.
Perlindungan sementara untuk korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diberikan oleh kepolisian sebelum pengadilan mengeluarkan perintah perlindungan. Perlindungan sementara ini bertujuan untuk memberikan keamanan langsung kepada korban dalam situasi darurat, serta mencegah terjadinya kekerasan berulang, lebih buruk atau berakhir dengan kematian. Namun, menurut Komisioner Retty Ratnawati, ketentuan tentang perintah perlindungan ini belum menjadi arus utama penanganan kasus KDRT termasuk kepolisian dan lembaga layanan belum mengenali KDRT yang berpotensi femisida.
“Terdapat lima indikasi KDRT berpotensi femisida yaitu terjadi peningkatan intensitas kekerasan fisik, peningkatan muatan kekerasan fisik, adanya kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi dan atau tidak adanya lingkungan yang mendukung atau support system untuk melindungi korban. Indikasi ini dapat digunakan untuk menentukan intervensi perlindungan sementara dan perintah perlindungan,” tambah Komisioner Retty Ratnawati terkait urgensi kepolisian pengadilan dan lembaga layanan korban membangun mekanisme dan standar kerja layanan untuk mencegah KDRT memburuk.
Dalam rangka dua dasawarsa UU PDKRT yang disahkan sejak 2004, Komnas perempuan juga mencatat pentingnya partisipasi aktif masyarakat, khususnya lingkungan Rukun Tetangga/Rukun Warga sebagai komunitas tapak terdekat mengingat UU PKDRT mengamanatkan agar setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, dan memberikan pertolongan darurat.
“Amanat tersebut menggaris-bawahi bahwa KDRT bukan lagi masalah privat dan karena itu siapa pun yang mengetahui adanya KDRT, wajib memberikan informasi dan bantuan agar korban terhubung dengan lembaga layanan korban, atau diketahui keluarga besarnya. Adanya dukungan lingkungan terdekat akan membantu korban KDRT untuk keluar dari siklus kekerasan,” tegas Rainy. (sirana.id)