SAMARINDA – Pernikahan tak lagi sesuatu yang buru-buru dikejar. Buktinya, adalah angka pernikahan menurun. Termasuk di Kalimantan Timur. Ragam alasan jadi sebab, salah satunya kekerasan dan beban berlapis.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah menunjukkan angka pernikahan di Kalimantan Timur (Kaltim) menurun. Misal pada 2019 ada 26,08 ribu pernikahan. Sedangkan, pada 2023 hanya terjadi 22,45 ribu pernikahan.
Penurunan angka menikah, tak hanya di Kalimantan Timur. Berbagai wilayah di Indonesia juga terjadi hal serupa. Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Bagong Suyanto pun menyebut sebab fenomena ini adalah semakin terbukanya peluang perempuan untuk mengembangkan potensi diri.
“Angka itu turun karena kesempatan perempuan untuk sekolah dan bekerja semakin terbuka lebar. Di samping itu ketergantungan perempuan juga menurun,” katanya.
Tak hanya itu saja, keberadaan laki-laki dengan kondisi ekonomi mapan yang jumlahnya tidak banyak menjadi salah satu penyebab lainnya.
“Keberadaan laki-laki mapan juga makin berkurang karena sekarang mencari pekerjaan semakin sulit,” paparnya dilansir dari laman Universitas Airlangga.
Menurut Guru Besar Sosiologi itu, fenomena seperti ini wajar bila terjadi. “Fenomena ini hal yang wajar, konsekuensi yang tidak terhindarkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, penurunan angka pernikahan jika terjadi dalam jangka waktu yang lama tak menutup kemungkinan akan menurunkan angka kelahiran. Meski demikian tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dalam hal ini.
“Menurunnya angka pernikahan itu wajar. Tidak ada yang harus diperbaiki. Tapi yang penting memastikan hal ini berdampak positif untuk memberdayakan perempuan dan masyarakat,” jelasnya.
Prof Bagong juga berharap bahwa fenomena ini dapat memberikan dampak yang baik kepada masyarakat.
“Menurunnya angka pernikahan harus beriringan dengan meningkatnya modal sosial masyarakat,” jelasnya.
Beban Berlapis, Bikin Enggan Menikah
Keengganan perempuan menikah juga bisa disebabkan beragam hal. Misal soal beban ganda perempuan yang harus bekerja, mengurus anak, dan pekerjaan domestik lainnya. Seperti yang telah ditemukan dalam penelitian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Microsave (MSC) Consulting Indonesia.
Pada 2024 ini, mereka telah mempublikasi penelitian soal pekerja perempuan. Dari penelitian ini, ditemukan sekitar 66% atau 54,5 juta pekerja informal di Indonesia adalah perempuan. Alasan tingginya persentase perempuan pekerja dalam sektor informal, cukup memprihatinkan. Perempuan umumnya lebih termotivasi memasuki dunia kerja informal dengan pertimbangan jam kerja yang fleksibel dan cepat memperoleh pendapatan. Karena harus meluangkan waktu untuk memenuhi tanggung jawab melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.
Digitalisasi ekonomi informal pun meningkatkan peluang untuk memasuki sektor kerja informal. Namun, pada akhirnya, fleksibilitas waktu kerja dalam sektor informal justru mengakibatkan perempuan memiliki jam kerja yang lebih panjang dengan pendapatan yang lebih rendah.
Senior Manager Gender Equality & Social Inclusion (GESI), MSC Indonesia Consulting, Putu Monica Christy memaparkan temuan kunci dan rekomendasi dari hasil studi dimana pekerja informal perempuan memiliki jam kerja yang panjang tetapi pendapatan yang rendah.
“Sebagian besar pekerja informal perempuan bekerja lebih dari 40 jam per minggu,” terangnya.
Akan tetapi, lebih dari 70% perempuan di sektor informal hanya memiliki pendapatan di bawah tiga juta rupiah per bulan. Perempuan juga menanggung beban ganda karena tetap bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Lebih dari 60 persen pekerja informal perempuan menghabiskan lebih dari 10 jam per minggu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pengasuhan.
Beban ganda itu, tak hanya urusan pekerjaan domestik dan diskriminasi upah. Bahkan, untuk urusan keluarga berencana (KB) atau kontrasepsi yang sebenarnya bisa dilakukan laki-laki atau perempuan, pada akhirnya yang diminta bertanggung jawab mengontrol kehamilan adalah perempuan. Data Pemprov Kaltim pun telah mengamini hal ini. Pada 2023, di Kaltim jumlah peserta KB aktif ada 352 ribu orang. Terdiri dari 340 ribu perempuan dan hanya 12 ribu laki-laki yang bersedia KB.
Pernikahan dan Bayang-Bayang KDRT
Di sisi lain kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga menghantui. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) RI, mencatat 660 kasus kekerasan di Kalimantan Timur, selama 2024 ini. Sebanyak 627 perempuan jadi korban. Pelaku pun mayoritas orang dekat. Hal ini menunjukkan, Perempuan masih dalam bayang-bayang kekerasan.
Masih merujuk data Kemenpppa RI, pelaku kekerasan juga masih mayoritas laki-laki. Kebanyakan adalah pasangan mereka. Seperti suami, pacar, atau teman.
Beberapa kondisi rumah tangga yang memberatkan ini pun, membuat Peremp5uan jadi pihak yang paling banyak menggugat cerai. Maka jangan heran, jika Data BPS menunjukkan pada 2023, dari 8.241 perceraian yang terjadi di Kaltim 6.154 kasus berasal dari gugatan cerai pihak perempuan. Sementara, 2022 ada 10.191 kasus perceraian, dengan 7.641 kasus adalah gugatan cerai dari pihak perempuan. Dengan beragam kondisi itu, maka jangan heran jika minat menikah akan menurun. (Sirana.id)
Baca juga: Mencari Cara Melindungi Perempuan Kaltim dari Kekerasan















