Gaza – Kelaparan mendera warga Gaza. Anak-anak malnutrisi dan jutaan nyawa terancam.
“Kondisi kelaparan yang sangat parah kini tengah terjadi di Gaza,” ujar pakar ketahanan pangan yang didukung PBB pada Selasa (29/7) lalu. Seruan ini disampaikan di tengah konflik yang tidak kunjung usai, jutaan warga yang harus mengungsi, serta layanan dasar yang nyaris lumpuh total di wilayah yang hancur akibat perang ini._
Menurut Integrated Food Security Phase Classification (IPC), dua dari tiga indikator kelaparan telah terpenuhi di Gaza, yakni anjloknya konsumsi makanan dan meningkatnya kasus malnutrisi akut. Meski kelaparan belum bisa dinyatakan secara resmi karena indikator ketiga — kematian akibat kelaparan — belum dapat dibuktikan secara data, namun bukti-bukti terus menumpuk dan semakin menunjukkan bahwa banyak kasus kematian yang disebabkan oleh kelaparan, malnutrisi, dan penyakit akibat kelaparan.
“Ini bukan lagi ancaman di kejauhan, melainkan bencana yang sedang berlangsung di depan mata kita, di layar televisi kita,” kata Ross Smith, Direktur Penanganan Darurat Program Pangan Dunia (WFP).
“Ini bukanlah peringatan, tetapi seruan nyata untuk bertindak. Situasi ini belum pernah terjadi sebelumnya di abad ini,” tegasnya dalam konferensi pers di Jenewa.
Dari markas besar PBB di New York, Sekretaris Jenderal António Guterres menyatakan bahwa laporan ini membenarkan kekhawatiran kita selama ini bahwa Gaza berada di tepi jurang kelaparan.
“Fakta-faktanya sudah jelas dan tidak terbantahkan,” ujarnya.
“Warga Palestina di Gaza menghadapi krisis kemanusiaan yang luar biasa parah. Ini bukan lagi sekadar peringatan, melainkan kenyataan pahit yang sedang berlangsung di depan mata kita.”
Kondisi saat ini sangat mengkhawatirkan: sepertiga penduduk Gaza kini harus bertahan hidup tanpa makanan selama beberapa hari berturut-turut, menurut IPC. Rumah sakit pun kewalahan, dengan lebih dari 20.000 anak-anak dirawat karena malnutrisi akut sejak April. Sedikitnya 16 anak di bawah lima tahun meninggal sejak pertengahan Juli dengan penyebab kematian terkait kelaparan.
Laporan ini keluar setelah analisis IPC pada Mei lalu, yang memperkirakan bahwa seluruh populasi Gaza akan mengalami tingkat krisis pangan terparah pada bulan September. Setidaknya 500.000 orang diperkirakan akan berada di level IPC Fase 5, yakni tahap paling ekstrem yang ditandai dengan kelaparan, kemelaratan, dan kematian.
Pertempuran sejak Oktober 2023 yang terjadi telah menewaskan ribuan orang dan menghancurkan sekitar 70 persen infrastruktur Gaza. Laporan IPC juga menegaskan bahwa jumlah masyarakat yang harus mengungsi sangatlah besar, sementara zona aman kini hanya tersisa kurang dari 12 persen dari total wilayah di Gaza.
Dari sekitar 2,1 juta penduduk Gaza, sekitar 90 persen telah mengungsi dan banyak yang sudah beberapa kali berpindah tempat. Sejak gencatan senjata terakhir berakhir pada 18 Maret, terdapat lebih dari 762.500 orang yang terusir dari tempat tinggalnya.
Sementara itu, akses bantuan kemanusiaan tetap sangat terbatas. Banyak konvoi bantuan dihalangi atau dijarah. Israel baru-baru ini mengumumkan “jeda kemanusiaan harian”, dan lebih dari 100 truk bantuan berhasil masuk pada Minggu lalu. Namun, PBB menegaskan bahwa Gaza membutuhkan pasokan besar makanan, bahan bakar, dan obat-obatan — bukan hanya aliran kecil bantuan.
“Bantuan yang masih mengalir sedikit ini harus berubah menjadi sebuah arus besar,” ujar Guterres, Sekretaris Jenderal PBB.
“Keadaan tragis ini harus segera berakhir. Kita butuh upaya maksimal dari semua pihak sekarang juga.”
Sekjen PBB kembali menyerukan gencatan senjata kemanusiaan yang segera dan permanen, pembebasan semua sandera tanpa syarat, serta akses penuh bagi bantuan kemanusiaan untuk dapat masuk ke seluruh wilayah Gaza.
“Ini adalah ujian bagi rasa kemanusiaan kita bersama, dan kita tidak boleh gagal menjalaninya,” tegasnya.
Sejalan dengan seruan global, IPC juga mendesak untuk segera dilakukannya gencatan senjata tanpa syarat, pembukaan akses untuk bantuan kemanusiaan, dan pemulihan layanan-layanan dasar. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kematian massal tidak bisa dihindari jika tidak ada tindakan segera.
Para pakar juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap warga sipil, petugas kemanusiaan, dan infrastruktur vital seperti rumah sakit, sistem air bersih dan sanitasi, jalanan, hingga jaringan komunikasi.
Laporan IPC bertujuan menyoroti krisis pangan dan gizi yang mendesak, meski belum resmi menyatakan status “kelaparan.” Namun, analisis terbaru mengenai Gaza sedang disusun dan akan diumumkan dalam waktu dekat.
Sebuah wilayah baru dapat dinyatakan mengalami kelaparan jika memenuhi tiga kriteria utama sekaligus: konsumsi makanan yang sangat menurun, malnutrisi akut, dan kematian akibat kelaparan. Namun, pengumpulan data untuk indikator terakhir sangat sulit karena sistem kesehatan di Gaza nyaris runtuh total menurut pernyataan bersama dari WFP dan UNICEF.
Laporan terbaru menyebutkan bahwa sekitar 60.000 warga Gaza telah tewas sejak perang pecah pada Oktober 2023.
“Perempuan dan anak perempuan di Gaza menghadapi pilihan yang sangat kejam: tetap di tempat perlindungan dan mati kelaparan, atau keluar mencari makanan dan air dengan risiko terbunuh,” ujar Sofia Calltorp, Direktur UN Women di Jenewa.
Ia kembali menegaskan seruan UN Women agar perempuan dan anak perempuan mendapatkan akses penuh terhadap bantuan kemanusiaan, pembebasan semua sandera, dan gencatan senjata segera.
“Kami juga berharap bahwa Konferensi Tingkat Tinggi Internasional pekan ini tentang penyelesaian damai atas isu Palestina bisa menjadi titik balik menuju solusi dua negara — di mana Israel dan Palestina bisa hidup berdampingan dengan damai dan aman,” tambahnya, merujuk pada inisiatif yang dipimpin Prancis dan Arab Saudi di markas besar PBB di New York.
Saat ditanya soal efektivitas dari misi bantuan dari udara yang baru dimulai, Ross Smith dari WFP menyebutnya sebagai “langkah terakhir ketika semua opsi logistik tidak tersedia.”
Menurutnya, bantuan udara terlalu mahal dan tidak efisien, serta berisiko tinggi, apalagi di wilayah padat penduduk seperti Gaza. Setidaknya 11 warga Gaza terluka dalam distribusi bantuan udara pada Minggu lalu.
Lembaga-lembaga PBB menegaskan bahwa akses darat secara penuh sangat dibutuhkan untuk menjangkau kelompok paling rentan — terlepas dari pengumuman militer Israel tentang jeda kemanusiaan harian dari pukul 10 pagi hingga 8 malam.
“Kami menyambut baik adanya jeda kemanusiaan, namun kami ingin niat baik ini dijalankan dengan sepenuhnya, hingga ke titik distribusi bantuan, agar kami bisa bergerak lebih cepat dan efisien,” jelas Smith.
“Selama masih ada penundaan, hambatan izin, dan ketegangan antara pasukan bersenjata dan warga sipil, kita belum akan melihat perubahan yang cukup untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza.” (sirana.id)















