Perkawinan anak yang terjadi terus menerus dapat mengancam tercapainya bonus demografi. Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak merupakan bagian dari tujuan Pembangunan Indonesia melalui target RPJMN 2020-2024 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs) dengan target penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74% pada tahun 2024 dan 6,94% pada tahun 2030.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Herti Windya Puspasari bahwa pihaknya melakukan Penelitian terkait Model Pencegahan Perkawinan Anak di Indonesia yang memiliki tujuan umum yaitu untuk mengidentifikasi model-model pencegahan perkawinan anak di Indonesia.
“Tujuannya adalah untuk mendapatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing menuju bonus demografi dan juga Indonesia emas tahun 2045,” ucapnya dalam webinar tema “Peran Riset Kesehatan Remaja dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045” pada Selasa (17/06), dalam rilisnya di laman BRIN.
Riset tersebut dilakukan dengan menggunakan systematic literatur review, dengan merangkum hasil-hasil artikel penelitian dari publikasi ilmiah dari tahun 2018-2024. Kemudian melakukan Analisis Narrative Literature Review (NLR), yaitu suatu jenis tinjauan pustaka yang dilakukan dengan menyusun dan menyajikan hasil-hasil penelitian sebelumnya dalam bentuk narasi untuk menjawab tujuan penelitian. Serta dengan melakukan diskusi antara tim riset dengan narasumber ahli untuk masukan hasil penelitian.
baca juga: Perkawinan Anak itu Pelanggaran Serius, Bukan Sekadar Urusan Malu
Adapun hasil dari riset tersebut berdasarkan karakteristik metode penelitian maka didapat bahwa studi kualitatif merupakan paling terbanyak dalam artikel yang telah dianalisa dan lokasi penelitian yang terbanyak adalah di desa.
“Hasil penelitian kami secara garis besar terkait kebijakan tentang perkawinan anak di Indonesia yaitu adanya penekanan pendewasaan usia perkawinan, implementasi Kebijakan Perkawinan Anak, kebijakan pencegahan perkawinan anak secara lokal,” terang Herti.
Sebelumnya, UU No. 1 Tahun 1974 mengatur batas usia minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk Perempuan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Meski demikian banyak dispensasi nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama sehingga perkawinan anak atau pernikahan dini tetap terjadi.
Dari hasil artikel yang telah dianalisis didapatkan bahwa faktor penyebab perkawinan anak di Indonesia adalah kemiskinan, disparitas ekonomi, Pendidikan rendah, nilai sosial budaya, tekanan keluarga dan Masyarakat, minimnya akses pendidikan seksual dan reproduksi, seks pranikah, dan rendahnya regulasi. Pendidikan yang rendah itu akibat dari kurangnya akses terhadap pendidikan yang berkualitas atau pemahaman tentang dampak negatif dari perkawinan anak berkontribusi pada kejadian perkawinan anak. Aspek nilai-nilai budaya dan sosial biasanya terdapat pada beberapa daerah, yaitu biasanya perkawinan anak masih dianggap sebagai bagian dari tradisi atau cara untuk menjaga kehormatan keluarga.
Tekanan keluarga dan masyarakat biasanya seringkali terjadi pemaksaan pada anak atau remaja, terutama perempuan, untuk menikah muda. Hal ini bisa dikarenakan alasan kehormatan keluarga, pelestarian harta, atau transaksi sosial ekonomi antar keluarga. Adapun akses terhadap Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi akibat kurangnya akses terhadap informasi dan pendidikan tentang seksualitas. Masalah kesehatan reproduksi termasuk kehamilan di luar nikah yang terkadang mendorong perkawinan anak atau pernikahan dini sebagai Solusi sosial. Lemahnya regulasi atau kepatuhan hukum biasanya dikarenakan lemahnya penegakan hukum.
Identifikasi dan analisis model pencegahan perkawinan anak yang dilakukan di desa antara lain kolaborasi aparat desa, bidan desa dan perawat desa untuk mengidentifikasi dan melakukan pencegahan melalui edukasi dan konseling. Kemudian peran dan keterlibatan keluarga melalui komunikasi interpersonal, pendampingan remaja dan optimalisasi karang taruna.
Selain itu dilakukan pengembangan konsep diri remaja melalui program sekolah, pendidikan kesehatan dan reproduksi melalui video, pamflet serta konseling di sekolah, pemberdayaan wali kelas sebagai pendamping siswa untuk edukasi dan konseling mengenai kesehatan dan reproduksi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak serta peningkatan kesejahteraan keluarga melalui program sekoper (sekolah perempuan) dan optimalisasi peran kader SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak).
Adapun identifikasi dan analisis model pencegahan perkawinan anak yang dilakukan di kota antara lain peningkatan peran kader untuk pencegahan perkawinan anak serta edukasi, sosialisasi, dan konseling di sekolah mengenai dampak perkawinan anak dan pencegahannya.
Herti menyampaikan bahwa rumusan draft model pencegahan perkawinan anak di Indonesia dilakukan melalui aspek pendekatan struktur, kultur dan proses sosial. Pendekatan melalui aspek struktur meliputi pendewasaan umur perkawinan anak, kebijakan pencegahan perkawinan anak dari pemerintah pusat dan daerah, sosialisasi, implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan pencegahan perkawinan anak sampai tingkat kota/desa dan kolaborasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Kemudian pendekatan yang melalui aspek kultur antara lain dilihat dari pendekatan budaya melalui identifikasi budaya, keterlibatan masyarakat, pendekatan tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Sedangkan pendekatan proses sosial melibatkan peran masyarakat, keluarga dan sekolah. Peran masyarakat antara lain melakukan gerakan stop perkawinan anak melalui edukasi dan konseling dengan mengoptimalkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat, kader SAPA dan karang taruna. Adapun peran keluarga meliputi peningkatan kesejahteraan keluarga dan pendidikan orangtua, dan peran komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak. Kemudian peran sekolah antara lain adalah pengembangan konsep diri remaja melalui kurikulum sekolah, optimalisasi peran guru khususnya wali kelas. “Dan yang paling penting adalah penyebarluasan informasi mengenai dampak perilaku seks bebas seperti kehamilan tak diinginkan serta dampak perkawinan anak melalui berbagai media di masyarakat, keluarga dan sekolah,” imbuh Herti
Di akhir paparannya, Herti menyampaikan bahwa pendekatan struktur mengalami kendala pada implementasi kebijakan yang berkaitan dengan komitmen, budaya dan anggaran wilayah setempat. Adapun pendekatan kultur masih jarang dilakukan karena intervensi budaya memerlukan pendekatan khusus dan hasilnya biasanya tidak dirasakan langsung.
“Pendekatan proses sosial paling banyak dilakukan melalui metode sosialisasi, konseling dan edukasi dengan keluarga dan sekolah serta memberdayakan masyarakat melalui organisasi non pemerintah juga mengoptimalkan program Pusat Informasi Konseling Remaja untuk mencegah perkawinan anak di Indonesia, namun pendekatan proses sosial ini, masih memerlukan konsistensi,” tutup Herti. (sirana.id)