Kalimantan Timur belum bebas dari malaria. Data Dinas Kesehatan Kalimantan Timur menyebutkan, ada empat daerah di Kaltim yang belum bebas dari Malaria. Daerah itu adalah Penajam Paser Utara, Paser, Berau, dan Kutai Timur.
Kepala Dinas Kesehatan Kaltim Jaya Mualimin pun menegaskan hanya tinggal dua daerah yang persentase parasit malaria di atas lima persen. Dua daerah itu adalah Paser dan Penajam Paser Utara (PPU). Bersama Berau dan Kutai Timur, pihaknya akan mengusahakan agar persentase parasit malaria turun di bawah satu persen.
Di sisi lain, Malaria telah menyebabkan 2 miliar kasus dan 11,7 juta kematian sepanjang 2000 hingga 2023.
Tingginya beban penyakit ini menunjukkan perlunya strategi pengendalian yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memulai studi awal pendeteksian Wolbachia di daerah endemis malaria, yaitu Papua. Penelitian dilakukan di lima titik di Kabupaten Keerom, yakni di Sanggaria, Yatu Raharja, Ubiyau, Samanawa, dan Pitewi.
“Nyamuk yang dikumpulkan berasal dari metode human landing collection (HLC) dan resting collection tahun 2023. Analisis dilakukan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR),” kata Peneliti Ahli Madya BRIN Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Rusdiyah, dalam webinar bertajuk “Update Penyakit Tular Vektor; Berpotensi Menjadi Pandemi Berikutnya”, Rabu (25/6) lalu.
Wolbachia adalah bakteri endosimbion alami yang ditemukan pada sekitar 70 persen serangga dan diturunkan secara maternal. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk mengganggu siklus hidup patogen penyebab penyakit dalam tubuh nyamuk, serta memengaruhi reproduksi serangga.
Dari total 1.701 nyamuk yang diperiksa, ditemukan empat spesies utama, yakni Anopheles punctulatus, koliensis, farauti, dan bancrofti. Wolbachia terdeteksi secara alami pada tiga spesies, dengan prevalensi tertinggi pada Anopheles punctulatus. Namun secara keseluruhan, hanya sekitar 2,9 persen dari total sampel yang terinfeksi.
“Meskipun prevalensinya rendah, temuan ini cukup signifikan karena menunjukkan bahwa Wolbachia memang ada secara alami pada nyamuk Anopheles di Papua. Ini membuka peluang intervensi berbasis pendekatan biologis lokal,” ujar Rusdiyah.
Dia menguraikan tiga mekanisme utama bagaimana Wolbachia bekerja dalam pengendalian vektor. Pertama, inkompatibilitas sitoplasmik (CI), yakni telur dari nyamuk betina liar yang dikawini oleh nyamuk jantan pembawa Wolbachia tidak akan menetas. Kedua, pemendekan umur nyamuk, di mana Wolbachia mempercepat kematian nyamuk sebelum mereka sempat menularkan patogen.
Ketiga, gangguan terhadap patogen (pathogen interference). Bakteri ini menghambat replikasi patogen seperti Plasmodium (malaria) di tubuh nyamuk melalui peningkatan sistem imun serangga dan mekanisme biokimia lainnya.
“Pendekatan ini telah terbukti berhasil di berbagai negara. Di Yogyakarta, pelepasan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi Wolbachia berhasil menurunkan kasus dengue hingga 77 persen. Keberhasilan serupa juga terjadi di Brasil dan beberapa negara lain,” tutur Rusdiyah.
Dirinya menerangkan, meski pendekatan ini telah berhasil pada nyamuk Aedes, penelitian terhadap Wolbachia pada nyamuk Anopheles vektor utama malaria masih sangat terbatas.
Meski menjanjikan, pendekatan ini memiliki sejumlah tantangan. Efektivitas Wolbachia sangat bergantung pada spesies nyamuk dan strain bakteri yang digunakan. Selain itu, belum diketahui apakah infeksi yang ditemukan bersifat stabil dan dapat diwariskan dari generasi ke generasi, yang penting untuk menjaga keberlanjutan dampaknya.
Rusdiyah menerangkan studi ini belum mencakup uji biologis terhadap efektivitas Wolbachia dalam menghambat Plasmodium secara langsung. Metodologi masih terbatas pada PCR, dan ke depan perlu dikombinasikan dengan pendekatan molekuler lain yang lebih dalam.
“Kami belum bisa menyimpulkan dampak langsung Wolbachia terhadap malaria. Penelitian ini menjadi tahap awal yang sangat mendasar untuk membangun strategi intervensi jangka panjang,” tambah Rusdiyah.
Rusdiyah mengungkapkan bahwa pendekatan berbasis insektisida seperti kelambu berinsektisida dan fogging mulai kehilangan efektivitas karena resistensi nyamuk dan perubahan perilaku vektor.
“Munculnya resistensi terhadap insektisida, pola penularan luar ruang (outdoor transmission), dan perubahan lingkungan mendorong kita untuk mencari solusi baru yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah pendekatan berbasis Wolbachia,” jelas Rusdiyah.
Minimnya data karakteristik Wolbachia di Indonesia, khususnya di Papua, menjadikan penelitian ini menjadi pionir dalam pemetaan dan analisis vektor malaria lokal. Ke depan, BRIN mendorong riset lanjutan untuk mengkaji efek Wolbachia terhadap Plasmodium di tingkat laboratorium, stabilitas infeksi jangka panjang, serta pengembangan metode deteksi yang lebih komprehensif.
“Penelitian ini adalah pijakan awal menuju pengendalian penyakit tropis berbasis bukti dan kontekstual dengan kondisi Indonesia,” pungkas Rusdiyah. (sirana.id)