JAKARTA – Dewan Pers menanggapi pencabutan tulisan opini yang sempat dimuat dalam laman Detik.com, 22 Mei 2025. Dewan Pers menghormati kebijakan redaksi media, termasuk untuk melakukan koreksi atau pencabutan berita dalam rangka menjaga akurasi, keberimbangan, dan memenuhi kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Namun setiap pencabutan berita harus disertai dengan penjelasan yang transparan kepada publik agar tidak menimbulkan spekulasi serta tetap menjaga akuntabilitas media. Dalam keterangan tertulisnya, Dewan Pers juga menegaskan bahwa Dewan Pers belum memberikan rekomendasi, saran, ataupun permintaan kepada redaksi Detik.com untuk mencabut artikel opini tersebut. Namun Dewan Pers telah menerima laporan dari penulis dan saat ini tengah melakukan verifikasi dan
mempelajarinya. Selain itu, Dewan Pers menghargai, menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan pers sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Dewan Pers mengecam dugaan intimidasi terhadap penulis opini di Detik.com. Kami
mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi dan melindungi
suara kritis dari warga, termasuk mahasiswa,” tulis keterangan tertulis yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat.
Lalu, Dewan Pers menilai penghapusan sebuah artikel opini atas permintaan penulis adalah hak yang perlu dihormati oleh redaksi. Sama seperti halnya permintaan pencabutan pendapat dari narasumber yang diwawancarai oleh sebuah media. Terakhir, Dewan Pers mengimbau semua pihak untuk menghargai dan menghormati ruang berekspresi dan berpendapat atas sebuah kebijakan penyelenggaraan negara. Dewan Pers juga mengimbau kepada semua pihak untuk menghindari penggunaan kekerasan serta tindakan main hakim sendiri.
Sementara itu, intimidasi dan teror ke beberapa kalangan juga membuat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) juga turut merespons. Dalam rilisnya, KIKA memaparkan ada dua peristiwa yang perlu direspon KIKA. Pertama, intimidasi terhadap tiga mahasiswa UII yang sedang mengajukan uji materi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, intimidasi yang mengancam keselamatan terhadap mahasiswa S2 UI, Sdr. YF, yang pula ASN di Kementerian Keuangan, usai terbit tulisan opininya, di detiknews.com (22 Mei 2025, 07.32), berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?”.
Ag, Ha, dan Id, tiga mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) yang menjadi pemohon uji formil Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan diintimidasi dari orang-orang tak dikenal (OTK), mengatasnamakan MK, dan juga dilakukan Babinsa (militer). Mereka mendatangi tempat tinggal mereka dan menggali informasi pribadi (sumber: “Mahasiswa UII Penggugat UU TNI Diintimidasi Orang Tak Dikenal”, Tempo, 22 Mei 2025)
Sementara, YF, penulis opini, diserempet oleh dua pengendara motor dengan helm fullface setelah mengantar anaknya ke TK. Beberapa jam kemudian dua pengendara motor dengan helm serupa, tapi motor berbeda, menendang jatuh motor Yogi di depan rumahnya. Karena ia memikirkan keselamatan istri dan dua anak kecilnya, terpaksa memohon pada Detik, agar tulisannya di take down. Akhirnya, detikcom, menghapus artikel berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” Artikel yang tayang 22 Mei 2025 tersebut dihapus dengan alasan melindungi keselamatan penulis.
Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 9 (1), dijelaskan Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Selain itu dalam mekanisme hukum dan HAM di Indonesia, kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas, termasuk dalam Pasal 19 Kovenan SIPOL (ICCPR/ Indonesia ratifikasi dalam UU No.12 Tahun 2005) sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, dan Pasal 13 Kovenan EKOSOB (ICESCR/Indonesia ratifikasi dalam UU No.11 Tahun 2005) sebagai bagian dari hak atas pendidikan. Sehingga perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap mahasiswa termasuk masyarakat sipil yang ditandai dengan praktik militerisme membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik yang secara bersamaan disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia !
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyatakan, bahwa intimidasi yang dilakukan terhadap mahasiswa yang sedang mendayagunakan pemikiran kritisnya, tak boleh sekalipun dibatasi apalagi direpresi dengan cara intimidasi yang mengancam keselamatannya. Teror atas tulisan, pendapat, upaya konstitusional, harus didesakkan pertanggungjawabannya, diuji dalam mekanisme penegakan hukum yang adil nan lugas. (Sirana.id)















