Perahu ces dipacu di antara kapal penarik bak batu bara raksasa yang membelah Sungai Mahakam, lalu menuju ke sungai yang lebih kecil. Di peta, sungai ini bernama Sungai Pela. Lalu, sebuah jembatan berwarna kuning yang dilintasi kawanan monyet abu-abu terlihat. Tak jauh, permukiman dengan pelang bertuliskan Desa Wisata Pela menyambut.
Nofiyatul Chalimah – Kutai Kartanegara
Desa di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara itu lumayan masyhur. Beberapa menteri di republik ini, sudah pernah menempuh jalanan tak begitu mulus selama 3 jam dari Samarinda, Ibu Kota Kalimantan Timur lalu menyeberang dengan perahu demi menuju desa yang namanya sama dengan nama sungainya ini. Desa Pela.

Bukan tanpa alasan, beragam prestasi di kancah nasional, sudah didapat Pela sebagai desa wisata. Hal ini tak lepas dari budaya dan keindahan panorama sungai maupun danau di sekitarnya. Termasuk upaya masyarakatnya terlibat pada konservasi Pesut Mahakam. Hewan yang begitu lekat dengan warganya sejak dahulu.
“Tahun 1950-an, pesut itu sering muncul di samping perahu kami. Jumlahnya ratusan,” cerita Alimin, warga Desa Pela yang juga jadi sosok yang berperan dalam suksesnya Desa Pela jadi tujuan wisata.
Dia lalu melanjutkan dengan nada agak getir, bahwa pemandangan itu tak lagi mudah ditemukan. Jumlah pesut Mahakam kini hanya puluhan saja.

“Kami tak mau mereka punah. Mereka bagian dari hidup kami. Wisata kami bukan soal mencari pesut, tapi bagaimana mendekatkan manusia dengan kesadaran untuk menjaga,” jelas Alimin. “Kalau ada pengunjung, para nelayan lebih berhati-hati. Mereka merasa diawasi. Lama-lama, kesadaran itu tumbuh dari dalam.”
Kisah warga Desa Pela dan Pesut Mahakam, sudah terekam sejak lama. Pada 1970an, upaya penangkapan dan pemindahan Pesut Mahakam sempat terjadi. Hal ini diinisiasi Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang saat itu hendak membawa Pesut Mahakam ke gelanggang Ancol. Katanya, pemindahan itu sebagai upaya konservasi ek situ, alias konservasi di luar habitat. Saat itu, tim beranggotakan Dr. Singgit, Dr. Gatot, Mr. Skots dan insinyur Aswan, menuju Desa Pela tujuannya meneliti juga sekaligus membawa pesut ini ke Jakarta. Sebelum dibawa ke Jakarta beberapa waktu para ahli ini meneliti kebiasaan pesut setiap hari, baik itu makanan tingkah laku dan lain sebagainya. Melalui perjalanan panjang, Pesut Mahakam dibawa ke Jakarta. Akan tetapi gagal dikarenakan pesut tidak berkembangbiak dengan baik di sana dan terbentuknya Undang-Undang yang melindungi pesut Mahakam. Konservasi pesut mahakam pun, hanya boleh di habitatnya. Tak boleh dibawa kemana pun. (Nur, M.M., Azmi, M., Abidin, S. (2021). Sejarah Konservasi Pesut Mahakam Di Desa Pela Kabupaten Kutai Kartanegara 1970-2020. Langgong: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 1(2), 74-90.)
Pesut Mahakam memang tak perlu dibawa kemana pun. Mereka hanya perlu rumahnya menjadi ramah kembali. Apalagi, Pesut Mahakam lekat dengan kehidupan warga di Mahakam Tengah. Untuk diketahui, Mahakam tengah merupakan kawasan yang berada di pertengahan daerah aliran sungai Mahakam, yang masuk di wilayah Kutai Kartanegara dengan tiga danau kaskade Mahakam yaitu Semayang, Melintang, dan Jempang, serta puluhan danau kecil lainnya.
Kepala Desa Pela, Sopyan Noor mengamini bagaimana Pesut Mahakam lekat dengan warganya. Dalam kepercayaan lokal, pesut Mahakam diyakini berasal dari manusia yang “berpindah wujud” itulah sebabnya pesut diperlakukan bak kerabat.

Tetapi, warga Desa Pela tak langsung memahami upaya konservasi. Desa yang mayoritas nafkahnya dari mencari ikan di sungai dan danau itu, dahulu juga marak perikanan merusak.
“Dulu, kami hanya hidup dari sungai. Sekarang kami juga menjaga sungai. Ekonomi kami tumbuh, dan kami tetap bisa melestarikan alam,” tutur Sopyan Noor.
Tahun 2017, saat alat tangkap ilegal seperti setrum, racun, dan bom makin mengancam populasi pesut, para pemuda Pela membentuk Pokdarwis. Alimin salah satu motor penggeraknya. Mereka bertekad mengubah desa menjadi basis ekowisata edukasi dan konservasi. Lalu, tahun berikutnya, mereka merumuskan Peraturan Desa yang melarang penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan.
Warga Pela pun mulai mengurangi ketergantungan pada penangkapan ikan yang merusak. Anak-anak muda desa kini juga punya alternatif pemasukan menjadi pemandu wisata, homestay, atau pengrajin aneka kriya termasuk batik bertema pesut Mahakam. Selain itu, mereka mulai mengolah kembali sampah mereka. Termasuk saling mengingatkan jika masih ada yang suka buang ke sungai. Warga pun mengupayakan pengelolaan sampah di desanya lebih baik.
Tetapi, konservasi tak bisa sendirian. Kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kukar, Muslik, konservasi itu harus holistik, kolaborasi pentahelix pemerintah, masyarakat, akademisi, swasta, dan media adalah strategi yang mereka dorong. Pesut Mahakam tak bisa dijaga oleh satu pihak saja.
“Kami lakukan restocking ikan, edukasi alat tangkap ramah lingkungan, hingga bantu budidaya keramba. Karena habitat pesut juga adalah habitat ekonomi warga,” sebut Muslik.
Berabad-abad, warga yang hidup di tepi sungai dan danau, telah hidup dari ikan-ikan air tawar. Hal ini membuat, olahan ikan dari perairan Mahakam Tengah, jadi produk andalan. Termasuk ikan asin.

Salah satu yang mendapat cuan dari ikan asin di Desa Pela ini adalah Wiranti (35). Dia mengolah ikan air tawar hasil tangkapan suaminya, menjadi ikan asin.
“Ada ikan asin Haruan, Biawan, Sepat siam,” kata Wiranti.
Harganya bervariasi. Paling mahal, ikan asin haruan yang bisa mencapai 60 ribu per kilogramnya. Biasanya, ikan ini dijual Wiranti ke pasar di pusat Kecamatan Kota Bangun.
“Kalau cuaca panas kita bisa cepat mengirim ikan asin. Tetapi kalau cuaca kurang bagus alias hujan tidak ada matahari, kita tidak bisa mengirim ikan dengan cepat, Kadang 2-3 hari baru bisa diantar,” tambahnya.
Dia pun bisa meraup rupiah hingga Rp5 juta tiap bulannya dari ikan asin. Ikan dan nelayan memang tak bisa dipisahkan di Desa Pela. Termasuk Pesut Mahakam di dalamnya. Sebuah museum nelayan berdiri di Desa Pela. Museum ini, jadi salah satu atraksi wisata. Di museum, pengunjung bisa tahu bagaimana kehidupan nelayan di Desa Pela sejak masa lampau dan bagaimana Pesut Mahakam berdampingan.

“Keberadaan Pesut Mahakam itu, jadi pertanda nelayan lokasi yang banyak ikannya,” kata Co-Founder Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) Danielle Kreb.
Dia melanjutkan, sejak lama nelayan di desa juga menjadikan perilaku Pesut Mahakam sebagai pertanda musim yang akan terjadi. Namun, perikanan merusak yang dilakukan nelayan, juga bisa jadi ancaman Pesut Mahakam. Misal penggunaan rengge dengan sisi rongga lebih dari 4 cm, racun ikan, setrum, dan sebagainya. Maka dari itu, keterlibatan nelayan dalam upaya konservasi itu penting.

“Ada yang mau. Ada yang tidak mau. Kami sudah bagikan sekitar 750 meter rengge untuk mengganti rengge yang sisinya lebih dari 4 cm,” sambung Danielle.
Dia pun juga bersyukur, makin banyak nelayan yang menyadari pentingnya keberadaan Pesut Mahakam. Mereka mulai meninggalkan perikanan yang merusak, walaupun sebagian masih ada yang menyetrum atau meracun ikan dan masih jadi pekerjaan rumah bersama.
Selain itu, isu sampah juga jadi fokus YK RASI. Pihaknya pun kerap memberikan penyuluhan dan pelatihan pengelolaan sampah masyarakat di berbagai desa yang ada di sekitar habitat Pesut Mahakam.
Menjamin Kehidupan Fiona dan Kawan-kawannya
Pesut Mahakam adalah lumba-lumba air tawar, tetapi kepalanya bulat tanpa moncong dan mulutnya berbentuk garis seperti selalu tersenyum. Meski ada nama “Mahakam”, namun Pesut Mahakam susah ditemui di Sungai Mahakam. Mereka hidup di sungai-sungai kecil dan danau kaskade Mahakam di wilayah Mahakam Tengah yang kondisinya lebih sepi dan juga masih mudah mendapat pakan kesukaannya, yaitu ikan-ikan kecil.

Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK-RASI) yang terjun di upaya konservasi Pesut Mahakam lebih dari dua dekade, baru saja menyelesaikan pemantauan Pesut Mahakam periode 16-23 Juli 2025. Danielle Kreb pun sudah bertemu Fiona. Si Nenek Pesut Mahakam, yang sudah dia temui lebih dari 20 tahun lalu.
“Dia (Fiona) main-main sama kawanannya. Fiona ini spesial. Dari bentuk badannya saja, bisa dikenali karena ada lipatan lemak jadi seperti ada punggungnya,” cerita Danielle.
Untuk diketahui, tiap Pesut Mahakam memiliki nama dan kode. Mereka biasanya diidentifikasi dari bentuk sirip punggungnya.
Meski Fiona sudah ditemui, Namun, kabar kurang menyenangkan masih datang di tahun ini. Kematian Pesut Mahakam masih terjadi. Sedihnya, sebagian kematian tak terpantau karena minimnya laporan di lapangan.

Kasus kematian Pesut Mahakam ini terungkap, saat wawancara dengan nelayan. Pada Januari dan Februari, nelayan menjumpai dua bayi pesut yang mati dan terverifikasi di perairan Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Juga ada induk dan anak Pesut Mahakam yang ditemukan mati di perairan Kecamatan Penyinggahan, Kutai Barat. Namun, yang di Penyinggahan, agak susah terverifikasi.
“Ini jadi tantangan. Biasanya masyarakat melapor atau posting di sosial media,” kata dia saat diwawancarai pada Jumat, 25 Juli 2025.

Danielle memaparkan, Pesut Mahakam diperkirakan tinggal 60 ekor. Jumlahnya terus menurun. Upaya terus dilakukan agar Pesut Mahakam terus bertambah. Misalnya, jika sebelumnya, kematian Pesut Mahakam banyak disebabkan langsung karena tersangkut jaring nelayan atau rengge, YK RASI pun membagikan alat akustik pinger yang akan membuat Pesut Mahakam menjauhi rengge.
“Kita sudah membagikan 252 akustik pinger ke 175 nelayan dari Juli 2021,” papar perempuan berdarah Belanda tersebut.
Hasilnya, mulai terlihat. Kasus kematian Pesut Mahakam akibat tersangkut rengge, mulai berkurang. Namun, ancaman lain masih menghantui. Dalam rilis Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak akhir 2024, mereka memaparkan sebab kematian lima pesut Mahakam pada 2024 itu. Dari lima, hanya satu yang disebabkan langsung oleh rengge. Empat lainnya disebabkan penyakit akibat akumulasi toksik maupun mikroplastik.
Pertambangan yang Menghantui Pesut Mahakam
Rumah yang tersisa untuk Pesut Mahakam memang makin tak ramah. Hal ini seiring dengan industri pertambangan yang masif di habitat Pesut Mahakam. Mulai dari cemaran akibat pembukaan lahan, aktivitas conveyor batu bara, hingga transportasi kapal ponton yang mengganggu Pesut Mahakam.

Soal kapal ponton, Danielle menjelaskan Pesut Mahakam itu “melihat” dengan sonar atau pantulan suara. Kapal-kapal raksasa ini, mengeluarkan suara lebih dari 100 desibel. Sedangkan, suara 80 desibel saja, sudah membuat pesut tak bisa menebak jaraknya dengan obyek lain. Apalagi, kapal-kapal itu melewati sungai-sungai yang sempit. Biasanya, Pesut akan berenang menjauh jika ada kapal ponton. Namun, Danielle menemukan ada anomali perilaku Pesut Mahakam saat pemantauan tahun ini.
“Kami menemukan perilaku pesut yang mengejar kapal ponton sambil menyemprotkan air dari lubang nafasnya. Itu anomali perilaku,” sambungnya.
Selain soal suara, banyak kapal ponton yang juga beroperasi tak sesuai aturan. Harusnya kapal yang lebarnya seperenam dari lebar sungai, tak boleh lewat. Selain itu, kapal-kapal gergasi itu harus lewat di tengah-tengah sungai. Bukan di pinggiran sungai.
Tak hanya itu, pengecatan anti-fouling atau cat untuk mencegah atau mengurangi penempelan organisme laut pada lambung kapal, juga diduga berdampak pada pencemaran air. RASI pun, tiap pemantauan Pesut Mahakam, juga melakukan uji kualitas air. Hasilnya beberapa lokasi ditemukan, kadar cemaran melebihi ambang batas. Beberapa di antaranya adalah cemaran kadmium atau logam berat.

Titik yang terdeteksi tercemar logam berat melebihi ambang batas pada pengambilan sampel April 2025 adalah Muara Kedang Kepala, Sungai Sabintulung, Muara Siran, Hilir Muhuran, Sangkuliman, Tanjung Halat, Hulu Sebemban, Batuq, Batuq Bumbun, Hilir Gunung Bayan, dan Kampung Baru Kubar.
Tetapi industri yang mengancam hidup Pesut Mahakam tak hanya tambang batu bara. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, hingga rencana pembukaan tambang pasir kuarsa di Kutai Kartanegara, juga jadi potensi ancaman baru. Rencananya, tambang pasir kuarsa ini akan ada di sekitar kawasan Kahala. Memang, Kahala bukan habitat utama Pesut Mahakam.
“Tetapi, Kahala adalah kawasan penyangga. Habitat ikan-ikan kecil dan sumber pakan pesut Mahakam,” kata Founder YK RASI Boediono.
Sementara itu, Kepala DKP Kukar, Muslik menekankan pentingnya pelaksanaan kegiatan tambang yang tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar lingkungan hidup.
“Sebenarnya karena ini merupakan bagian dari pembangunan, kita berharap bahwa nantinya bisa dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kegiatan, artinya sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan dan sebagainya,” ucapnya.
Dirinya menambahkan bahwa setiap kegiatan pembangunan, jika tidak dilakukan dengan bijaksana dan hati-hati, dapat berdampak langsung pada kualitas air serta mengancam ekosistem perairan.
“Walau bagaimanapun, dampak dari pembangunan intinya akhirnya ke air. Nah, ini juga akan berdampak kalau tidak dilakukan secara bijaksana dan hati-hati. Ini juga akan berdampak ke perairan kita dan juga berdampak kepada ekosistem, artinya bisa terancam. Ini perlu kehati-hatian. Pembangunan tidak bisa kita hindari, tetapi bagaimana proses itu dilaksanakan sesuai prosedur dan ketentuan, itu yang penting,” jelasnya.
Mengupayakan Asa yang Tersisa
Perlindungan habitat Pesut Mahakam yang tersisa, jadi kunci konservasi Pesut Mahakam. YK RASI pun sudah mencobanya. Bersama para pemangku kepentingan dan berbagai desa di habitat Pesut Mahakam, mereka mengupayakan kawasan konservasi untuk Pesut Mahakam. Pada tahun 2017 dilakukan kegiatan Lokakarya Usulan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Habitat Pesut Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Para peserta menyetujui atas usulan pembentukan kawasan untuk konservasi Pesut Mahakam. Lalu, pada Tanggal 27 Januari 2020 Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah telah menandatangani SK pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Habitat Pesut Mahakam dengan Nomor 75/SKBUP/HK/2020.
Dua tahun kemudian, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi di Perairan Mahakam Wilayah Hulu Kabupaten Kutai Kartanegara telah keluar. Kepmen ini, memuat kawasan konservasi yang merupakan habitat Pesut Mahakam di Kutai Kartanegara.

Perhatian dari pemerintah pusat juga datang pada awal Juli lalu. Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq datang ke Desa Pela. Dia menyampaikan peringatan keras terkait krisis ekologis yang tengah dihadapi Sungai Mahakam. Dia menyorot jumlah pesut Mahakam yang tersisa.
“Angka ini bukan sekadar data statistik. Ini merupakan indikator kuat degradasi ekosistem yang memerlukan perhatian dan tindakan segera,” tegas Menteri Hanif pada 3 Juli 2025.
Dia menegaskan bahwa ancaman terhadap Pesut Mahakam adalah cerminan dari tekanan sistemik terhadap ekosistem sungai. Penurunan populasi pesut menunjukkan bahwa keberlanjutan Sungai Mahakam sebagai sumber kehidupan bagi ribuan spesies dan masyarakat lokal kini berada dalam titik genting. Menteri Hanif pun melakukan peninjauan langsung ke habitat utama pesut yang kian terfragmentasi.
“Pelestarian Pesut Mahakam melampaui kepentingan satu spesies; ini adalah upaya vital untuk menjaga keseimbangan ekologis Sungai Mahakam yang menopang kehidupan ribuan spesies dan masyarakat lokal,” ujar Menteri Hanif.
Konservasi Pesut Mahakam menjadi bagian dari agenda prioritas nasional KLH/BPLH dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia. Menteri Hanif menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif dan lintas sektor yang menyatukan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi, masyarakat adat, dan LSM dalam kerangka kerja yang sinergis dan berbasis aksi nyata.
“Konservasi tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi dari hulu ke hilir, dari perumusan kebijakan hingga aksi nyata di lapangan. Partisipasi aktif masyarakat, khususnya generasi muda, sangat krusial dalam menemukan solusi yang berkelanjutan,” kata Hanif.
Sementara itu, Kepala DKP Kukar Muslik juga menekankan pentingnya pengelolaan kawasan konservasi yang telah ditetapkan di wilayah perairan tersebut. Tinggal bagaimana mengelola ini dengan rencana yang telah disusun.
“Saya kira itu bagian dari mitigasi kita. Tidak hanya tambang kuarsa, tapi semua tambang dan aktivitas perekonomian di sana. Saya pikir itu harus kita lakukan bersama-sama, tidak bisa sendiri-sendiri. Makanya kolaborasi menjadi sangat penting ketika kita ingin melakukan pelestarian terhadap apapun, termasuk pesut Mahakam,” pungkas Muslik. (Nur Fadillah Indah berkontribusi untuk artikel ini)
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Sirana.id dan Mediaetam.com, dalam program Fellowship Jurnalisme Konstruktif dalam Geojournalism di Indonesia yang didukung Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial.com.















