BALIKPAPAN – Sejak dua hari lalu, masyarakat Balikpapan dihebohkan dengan seekor paus yang terdampar di kawasan Lamaru, Balikpapan. Kemudian, hari ini ramai soal paus yang terlihat di perairan Teritip, Balikpapan. Upaya pun dilakukan agar paus kembali ke habitatnya. Di sisi lain, baru saja peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga membahas soal fenomena paus terdampar ini.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Ari Wibawanto mengatakan saat ini tim gabungan mengupayakan paus tersebut kembali ke habitatnya.
“Tim dari KKP, KLHK , Polairud dan TNI masih melakukan upaya penyelamatan untuk dapat kembali ke laut lepas,” kata Ari pada Kamis (26/9/2024).
Kasus paus terdampar seperti ini, bukan baru terjadi. Pada 2019, bangkai seekor paus ditemukan di Teluk Balikpapan. Beberapa kasus paus terdampar juga pernah terjadi di Berau, Kalimantan Timur.
Sedangkan, yang menghebohkan pada September ini, di Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), ada puluhan paus terdampar dan sebagian sudah mati. Melansir dari siaran pers Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Peneliti dari College of Science and Engineering, James Cook University, Australia, Putu Liza Kusuma Mustika menjelaskan paus merupakan mamalia laut yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti penggunaan sonar di bawah laut, pencemaran air, kontaminasi sampah laut, hingga badai matahari yang menyebabkan gangguan elektromagnetik pada kutub-kutub bumi.
Paus menggunakan sonar untuk sistem navigasinya. Sehingga bisa terganggu oleh penggunaan perangkat yang memancarkan gelombang elektromagnetik atau sonar di dalam laut. Seperti pada kegiatan eksplorasi migas.
“Menurunnya kualitas air juga dapat menurunkan imunitas paus, sedangkan semakin banyaknya sampah laut (terutama plastik) telah menyebabkan lebih banyak paus yang mati karena menelan sampah-sampah tersebut. Fenomena terdamparnya paus, seperti pada paus sperma, dapat juga berkaitan dengan terjadinya badai matahari,” tambah Icha.
Icha menyebut bahwa faktor alami lain seperti penyakit atau usia tua dapat membuat paus lebih rentan terdampar.
“Paus yang sakit atau tua sering kali kehilangan kemampuan navigasinya, atau terpisah dari kawanan, yang menyebabkan mereka lebih rentan terdampar di pantai,” tambah Icha.
Kejadian ini perlu mendapatkan perhatian serius karena paus merupakan spesies yang dilindungi. Untuk itulah jejaring penanganan mamalia laut terdampar di Indonesia yang beranggotakan pegiat lingkungan, pemerintah pusat dan daerah, organisasi non-pemerintah, serta komunitas masyarakat di seluruh pesisir Indonesia terus bekerja sama melakukan tindakan penanganan dengan cara yang tepat, seperti upaya pengembalian paus ke laut bagi biota yang masih hidup, atau penguburan bagi biota yang sudah mati. Upaya penyelidikan lebih lanjut mengenai penyebab spesifik terdamparnya paus juga perlu dilakukan melalui nekropsi (bedah bangkai hewan).
Fenomena yang Mesti Dikaji
Sementara itu, Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Achmad Sahri menambahkan dari sisi pola distribusi kejadian paus terdampar di Indonesia. BRIN juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan Peneliti dari College of Science and Engineering, James Cook University, Australia, untuk melakukan riset terkait ekologi paus dan kejadian terdampar, guna memahami lebih jauh tentang tingkah laku biota ini dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Riset yang dikerjakannya bersama Icha-Ketua Tim Peneliti dan beberapa peneliti dari Indonesia dan Amerika Serikat menelaah data kejadian terdampar selama 26 tahun dari tahun 1995-2021. “Selama periode 1995-2021, setidaknya ada 26 spesies paus dan lumba-lumba yang terdampar di perairan Indonesia. Satu dari enam spesies yang paling sering terdampar adalah paus pemandu sirip pendek yang juga terdampar di perairan Alor NTT beberapa minggu lalu,” imbuh Sahri.
Dikatakan Sahri, dengan memahami pola sebaran spasial dan temporal dari kejadian mamalia laut terdampar di Indonesia dapat mendukung upaya penyelamatan biota tersebut.
“Informasi ini sangat penting bagi penanganan kejadian terdampar, terutama berguna untuk pengalokasian personil atau kemungkinan mendatangkan alat berat,” ungkap Sahri. “Identifikasi area rawan tersebut juga dapat meningkatkan kesempatan bagi keberlangsungan hidup biota yang terdampar,” tambahnya.
Dengan meningkatnya frekuensi kejadian terdamparnya paus di perairan Indonesia, BRIN bekerja sama dengan berbagai pihak akan terus melakukan penelitian terkait fenomena alam ini. Hal tersebut sebagai upaya untuk mencari solusi pencegahan yang lebih efektif serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem laut. (sirana.id)