Samarinda – Rinda (bukan nama sebenarnya) galau, perempuan 32 tahun itu tak ingin pasang kontrasepsi. Dia takut untuk pasang IUD, sementara kontrasepsi hormonal seperti pil, suntik, hingga implan, memengaruhi siklus menstruasi dan berat badan tubuhnya. Sementara, menuntut kontrasepsi laki-laki dianggap bukan hal lumrah.
“Pengin minta suami yang vasektomi. Tapi sepertinya agak susah sekali ya kalau minta laki-laki yang KB (memakai kontrasepsi),” kata Rinda.
Meski opsinya tak sebanyak perempuan, kontrasepsi untuk laki-laki sudah ada. Selain kondom, laki-laki bisa melakukan vasektomi atau metode operasi pria (MOP). Bahkan, belakangan kontrasepsi berupa gel, pil, dan suntik untuk laki-laki lagi dikembangkan.
Beberapa menyebut kontrasepsi laki-laki minim risiko dibandingkan kontrasepsi untuk perempuan. Namun, sayangnya kontrasepsi masih dianggap urusan perempuan. Padahal kontrasepsi ini bisa jadi salah satu komitmen rumah tangga. Agar, beban tak melulu ditanggung perempuan. Salah satu pelaku vasektomi di Samarinda adalah Suyono. Dia berusia 41 tahun saat melakukan vasektomi. Tindakan vasektomi itu, dia ingat tak sampai setengah jam. Alasan dia vasektomi, karena dia melihat istrinya yang kerap tak cocok pakai berbagai jenis kontrasepsi. Hingga, dia konsultasi kesana kemari, dan memutuskan dialah yang bertanggung jawab pada urusan kontrasepsi.
“Istri saya sudah hamil dan melahirkan tiga kali. Setelahnya menyusui. Sementara, KB (kontrasepsi) juga banyak yang tak cocok,” ceritanya. Usai vasektomi, tak banyak yang berubah dari performanya. Menurutnya, sama saja.
Namun, melibatkan laki-laki dalam kontrasepsi bakal jadi pekerjaan besar. Pasalnya, untuk beberapa indikator capaian program keluarga berencana (KB) belum memberikan sinyal positif. Misalnya saja persentase unmet need KB (kebutuhan KB yang belum terlayani) masih sebesar 11,5 persen, jauh dari target 7,4 persen. Muaranya, kontrasepsi adalah membangun keluarga yang sejahtera. Maka dari itu, pengetahuan dan wawasan masyarakat di semua lini yang terkait pelayanan kontrasepsi dan kesehatan reproduksi yang berkualitas juga harus ditingkatkan.
“Dulu, kampanye KB slogannya dua anak cukup. Sekarang kita geser, tidak hanya soal angka tapi kualitas dan perencanaan keluarga. Dengan perencanaan yang baik, kita bisa membaca masa depan dengan baik. Investasi apa yang dibutuhkan penduduk 12 tahun ke depan bisa kita baca dengan Peta Jalan Pembangunan Kependudukan (PJPK),” kata Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Wihaji pada Diskusi Pakar: Investasi Pembangunan Manusia untuk Indonesia Emas 2045.
Dia melanjutkan, pemerintah harus tetap memastikan pembiayaan KB yang berkelanjutan, khususnya untuk yang paling membutuhkan. Hasil analisis biaya-manfaat program KB di Indonesia dari tahun 1970 hingga 2025 menunjukkan rasio manfaat-biaya sebesar 98. Sehingga bisa dipastikan investasi KB adalah intervensi yang sangat efektif dan efisien dari sisi anggaran.
Kemampuan untuk merencanakan kehamilan, termasuk memilih metode kontrasepsi, adalah hak asasi manusia.
“Setiap perempuan berhak untuk memutuskan kapan ia ingin punya anak, dan berapa anak yang ia inginkan. Peran kita adalah menyediakan informasi dan layanan bagi perempuan, termasuk layanan kontrasepsi, sehingga mereka bisa membuat keputusan tentang fertilitas mereka,” kata Kepala Perwakilan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA) di Indonesia Hassan Mohtashami.
Namun, keterlibatan laki-laki dalam urusan kontrasepsi juga penting. Sehingga, beban fisiologi perempuan memastikan konsep keluarga berencana, juga dapat terbagi. (sirana.id)
baca juga: Beban Berlapis Perempuan dan Alasan Angka Pernikahan Menurun