Lanskap Mahakam membentang seluas 77.000 km² dan dibagi menjadi wilayah hulu dan hilir. Bagian hilir Sungai Mahakam sudah terdampak oleh industri ekstraktif. Sementara bagian hulu mahakam merupakan salah satu benteng terakhir yang harus dijaga.
Di bagian hulu, masih ada hutan hujan yang masih utuh dan menjadi ruas tulang punggung keanekaragaman hayati terakhir di Kalimantan menghubungkan dua Provinsi Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara.
Lanskap ini menjadi satu kawasan ekosistem terpenting di Kalimantan Timur, yang meliputi hutan tropis, sungai, rawa, dan danau, serta merupakan rumah bagi spesies yang terancam punah seperti pesut dan bekantan. Namun, kawasan ini menghadapi tekanan besar dari deforestasi, pertambangan, dan perubahan tata guna lahan yang berdampak langsung pada krisis ekologi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerentanan masyarakat lokal.
Hal ini disampaikah Ahmad Saini, atau yang akrab disapa Bolang.
“Lanskap Mahakam layak untuk menjadi perhatian kita semua seperti kawasan ekosistem penting lainnya di Indonesia seperti Leuser, Raja Ampat, ataupun Pulau Komodo karena lanskap ini adalah ruas tulang punggung keanekaragaman hayati terakhir di Kalimantan. Dengan mendekatkan isu tersebut ke benak kaum muda di Indonesia kami berharap menumbuhkan semangat untuk melakukan aksi bersama untuk melindungi Lanskap Mahakam dari kerusakan,” kata dia.
Namun, lanskap ini terancam dari hilir dan hulunya karena industri ekstraktif. Koalisi Lanskap Mahakam pun muncul. Bolang jadi salah satu anggotanya. Dari koalisi ini, muncul gerakan kolektif Aura Mahakam. Gerakan ini diluncurkan mengajak publik di seluruh Indonesia dan dunia untuk melindungi lanskap Mahakam yang kian terancam oleh industri tambang, kayu, hingga sawit.
Kampanye Aura Mahakam ini juga mengajak pelaku dan komunitas seni berpartisipasi dan berkolaborasi dalam kompetisi desain nasional untuk menggambarkan karakter energi kehidupan “7 Aura Mahakam” yang menjadi simbol kehidupan, kekuatan, dan harapan dari Mahakam. Pemenang desain “7 Aura Mahakam” ini nantinya akan dipamerkan pada festival seni di Samarinda yang akan dilaksanakan pada bulan November 2025.

Hulu Mahakam yang Tersisa
Dalam kesempatan sama, Adjie Valeria, pegiat isu perempuan & lingkungan yang melakukan pengamatan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam menekankan pentingnya melihat sungai Mahakam dalam satu bentang alam yang terhubung mulai dari hulu ke hilir, memahami tiap fenomena perubahan tutupan lahan yang terjadi di seluruh Kabupaten pendukung yang terhubung dengan DAS Mahakam terhadap bencana banjir yang sering terjadi.
”Sehingga bila terjadi banjir di Kabupaten Mahakam Ulu, maka warga yang tinggal di Kutai Barat, Kutai Kartanegara hingga Samarinda mesti berjaga-jaga. Mengingat kompleksitas pemicu banjir hingga penanganannya, maka sinergitas riset mendalam dari pemerintah pusat dan daerah mesti dilaksanakan secara terhubung,” kata dia.
Namun, masalahnya bukan cuma banjir. Kehidupan budaya dan sosial masyarakat di hulu Mahakam juga terdampak akibat perubahan tutupan lahan. Dalam presentasinya, Adjie Valeria memaparkan setidaknya ada tiga hal yang terdampak. Pertama adalah semakin meningkatnya ongkos bertahan hidup di Mahakam Ulu karena jaraknya jauh dari produk pabrikan.
Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, beras menyentuh angka Rp 1 juta per karungnya. Hal ini akibat kemarau dan transportasi sungai terhambat. Dahulu, sumber pangan biasanya dihasilkan warga dari ladang-ladang mereka. Namun, karena alih fungsi lahan belum lagi konfliknya, membuat pertanian juga menantang.
Selain itu, berkurangnya syarat sajian ritual adat sebagai semangat spiritual masyarakat adat. Padahal, masyarakat kental dengan aneka tradisi. Untuk menanam padi pun, mereka punya serangkaian tradisi. Mulai dari menyemai benih secara kolektif, ritual hudoq sebagai ucapan syukur dan harapan agar padi bisa tumbuh dengan baik, hingga pada proses pemanenan. (sirana.id)