Samarinda – Hutan Kaltim disebut Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud sudah habis. Dia lagi melirik laut untuk dieksplorasi jadi sumber kekuatan ekonomi baru. Namun, bak hutan di daratan, kondisi laut Kalimantan Timur juga tak benar-benar baik.
Dalam Rapat Koordinasi Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di ruang kerja Gubernur Kaltim, Rabu (25/6/2025), Rudy mengatakan hutan Kaltim saat ini sudah habis. Bahkan sudah sejak sekitar 30-40 tahun lampau. Konsesi hutan tanaman alam bisa sampai 50 tahun. Untuk hutan tanaman industri dengan perpanjangan bisa sampai 100 tahun. Konsesi kehutanan di Kaltim dan Indonesia baru akan habis sekitar tahun 2100. Perkebunan tak jauh beda. Konsesi perkebunan jelas Rudy, biasanya antara 25-30 tahun. Bisa diperpanjang hingga dua kali. Jadi keseluruhan bisa sampai 90 tahun.
Demikian juga pertambangan. Batu bara yang dikeruk habis dari perut bumi Kalimantan Timur menurutnya tidak banyak memberi kontribusi terhadap penerimaan daerah. Ponton batu bara setiap hari melintas di Sungai Mahakam. Masyarakat Kaltim hanya jadi penonton. Tidak ada kontribusi untuk penerimaan daerah.

“Tapi seluruh dampak sosial, dampak lingkungan dan dampak buruk lainnya harus dirasakan masyarakat dan menjadi tanggung jawab kepala daerah,” sambung Gubernur.
Karena alasan itulah, menurut dia, maka ke depan Kaltim harus memikirkan potensi besar pengembangan pembangunan berbasis sektor kemaritiman.
“Bagaimana kita bisa menyusun tahapan strategis peralihan pembangunan dari sektor berbasis darat ke sektor kemaritiman,” kata gubernur yang punya nama beken Harum itu.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah identifikasi potensi, tantangan dan kebutuhan Kelembagaan di wilayah pesisir dan laut.
Selanjutnya adalah membangun sinergi organisasi perangkat daerah terkait program maritim nasional dan potensi daerah, kepelabuhanan, perikanan, STS dan participating interest (PI) migas, serta kegiatan pesisir lainnya. Agenda lain yang juga penting ditindaklanjuti adalah identifikasi wilayah strategis maritim, pulau-pulau kecil, peta wilayah pesisir laut, kegiatan STS, migas di atas 12 mil laut, pemutakhiran RTRW berbasis data kewenangan provinsi, sesuai Pasal 22 UU 23 Tahun 2014.
Namun, Bagaimana Kondisi Laut Kaltim?
Industri ekstraktif besar-besaran, sebenarnya telah berdampak pada laut Kaltim. Seperti petani di darat yang bolak balik kena dampak limbah tambang atau bergeliat dengan konflik agraria, nelayan-nelayan di lautan tak juga merdeka.
Di Balikpapan misalnya. Meski tak ada pertambangan batu bara, namun kegiatan industri banyak memberikan luka untuk laut di wilayah ini. Seperti 2018 saat tumpahan minyak membunuh beberapa kehidupan di laut ini. Hingga, ship to ship (STS) batu bara telah berdampak ke para nelayan.

Soal STS batu bara ini, telah terungkap dalam liputan kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Kalimantan Timur pada 2024 (klik di sini untuk artikel liputan selengkapnya).
Dalam liputan itu, dijelaskan bagaimana nelayan di kawasan pesisir Balikpapan, sudah kepayahan mencari ikan. Beberapa tahun belakangan, area jelajah mencari ikan menyempit. Musababnya, banyak kapal-kapal besar lalu-lalang di perairan Balikpapan. Kapal-kapal besar itu mengangkut kerikil hingga batu bara. Tak heran terkadang jaring nelayan tersangkut beberapa material seperti batu bara.
Bahkan dasar laut juga penuh luka dihujani jangkar-jangkar raksasa dari kapal-kapal itu. Jika jaring tersangkut, alamat nelayan bakal rugi jutaan rupiah. Belum lagi, wilayah yang dilarang mencari ikan. Ada satu tempat yang namanya disebut Lampu Merah, adalah tempat ikan banyak berkumpul. Dulu, itu spot favorit. Tapi sayang, sekarang sudah tak boleh ke sana. Di tempat itu, kini ada STS batu bara. Selain itu, nelayan juga enggan ke Lampu Merah itu, sebab jaring bisa mendapat batu bara atau tersangkut jangkar kapal atau lumpur.
Masih dalam laporan itu, Jumadi, seorang nelayan di Manggar, pun merasakan hal serupa. Lelaki yang telah lebih 30 tahunan melaut di perairan Balikpapan ini harus menghindar jauh dari kapal-kapal besar. Jika mendekat, Jumadi kena tegur. Dan jika jaringnya tersangkut, ia pun harus merelakan jaringnya tak bisa diangkat.
“Kalau penghasilan terasa penurunan jumlahnya, cuma ditutupi harga,” kata Jumadi.
Pernah Jumadi pulang dengan tangan kosong. Solar habis, alat tangkap pun rusak. Tersangkut limbah dari pembuangan jangkar kapal besar.
“Jadi kalau nyangkut kena bekas jangkar baru ya enggak ada hasil. Mau ditarik juga berat, saya cuma tarik manual, enggak pakai alat. Kalau sudah nyangkut terpaksa ditarik sampai ke pinggir,” keluh Jumadi mengenang nasibnya saat itu. “kalau kena bekas jangkar, ya pasrah sambil ngomel-ngomel, sudah capek, habiskan waktu, tidak dapat apa-apa,” sambungnya.
Tak jarang beberapa kapal pengangkut batu bara yang menuju lokasi area ship to ship bertambat terlalu dekat dengan Kampung Nelayan. Membuat Jumadi semakin bingung untuk mencari hasil laut. Sebab, jika dipaksakan terlalu dekat, ia khawatir kembali pulang dengan tangan kosong. Syukur-syukur jika tak menombok biaya perbaikan alat tangkap.
“Tongkang-tongkangnya yang berhamburan itu yang mengganggu. Kalau saya pribadi kalau bisa (kapal pengangkut) berlabuh jangan terlalu ke (Kampung Nelayan) sini lah. Seharusnya punya tempat tambat, jangan jauh-jauh dari kapal besarnya. Kami (nelayan) mau protes bingung, mau ke mana? selama mereka tidak melarang kami mencari (udang dan ikan) ya sudah, kami menyingkir sendiri, cari aman saja,” keluh Jumadi.
Para nelayan di Kelurahan Manggar pernah melayangkan protes soal aktivitas bongkar muat batu bara tersebut pada 2018. Ketika itu, ratusan nelayan melakukan blokade kapal angkutan batu bara yang melintas di Perairan Balikpapan. Para nelayan juga menyampaikan beberapa persoalan yang terjadi akibat aktivitas bongkar muat batu bara–jaring nelayan tersangkut batu bara hingga rusak.
Tidak hanya nelayan di Pesisir Balikpapan. Nelayan Teluk Balikpapan juga bolak balik protes. Melakukan aksi hingga melapor ke DPRD Kaltim, hasilnya juga tak memuaskan. Sementara, kehidupan mereka makin sulit.

Sadar, dari KUB Kelompok Nelayan Pantai Lango memaparkan mencari ikan sudah makin susah. Selain ruang tangkap makin sempit, aneka industri yang menjejali Teluk Balikpapan, telah merusak ekosistem. Mulai dari risiko limbahnya, hingga pembabatan areal mangrove yang seharusnya jadi pagar agar pencemaran di darat tidak ke teluk.
Walhasil, mereka kini harus ke hilir arah Selat Makassar. Sementara, kapal mereka kecil. Sedangkan, ombak Selat Makassar lebih tinggi dibandingkan di Teluk Balikpapan. Dulu, mencari ikan di teluk saja bisa dapat 10 kilogram ikan kakap atau trakulu.
“Sekarang hanya setengahnya,” keluhnya.
Nahasnya, yang merana tak cuma di Balikpapan. Berjalan ke utara, nelayan budidaya kerang dara di Muara Badak, Kutai Kartanegara, juga lagi memperjuangkan nasibnya. Laut mereka diduga tercemar limbah minyak perusahaan dan berdampak pada ratusan nelayan tradisional di wilayah pesisir Muara Badak. Berbagai aksi protes pun dilakukan. Namun yang terjadi, empat nelayan justru dipolisikan.
Ini baru berbicara soal konflik nelayan. Belum berbicara soal dampak perubahan iklim yang paling awal akan paling terasa di kawasan pesisir dan lautan. Di wilayah Derawan dan Maratua, Berau misalnya, meski dikenal keindahan lautnya, kondisi lautnya juga mengkhawatirkan.
Misalnya, dari pemantauan kesehatan ekosistem terumbu karang (Reef Health Monitoring) Yayasan WWF Indonesia di Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kepulauan Derawan dan Perairan sekitarnya pada 2021, hasilnya tutupan karang keras di perairan ini hanya 32,8 persen.

Selain itu, masih ditemukan indikasi aktivitas yang merusak seperti penggunaan bom, trawl, jangkar kapal dari wisata/nelayan, dan lainnya yang ditunjukkan dengan tingginya persentase pecahan karang (rubble) di lokasi pemantauan, yaitu 36,28 persen.
Di sisi lain, peningkatan suhu permukaan bumi akan berdampak besar terhadap terumbu karang. Mereka hidup dengan baik di laut tropis pada kisaran suhu 21–29 derajat celcius. Kenaikan 1–2 derajat celcius di atas suhu normal pada kurun waktu tertentu akan mengakibatkan coral bleaching atau pemutihan terumbu karang.
Dengan kondisi ini, eksplorasi laut Kalimantan Timur jika dilakukan serampangan seperti yang sudah terjadi di daratan, maka hanya akan menambah korban-korban baru. (ffy/sirana.id)