DATA Kepolisian RI 2023 menunjukkan jumlah polisi wanita atau polwan sedikit. Hanya 8% polwan dari total personel, dengan proporsi perempuan di posisi pimpinan tinggi jauh lebih kecil. Padahal, keberadaan polwan dalam kasus kekerasan berbasis gender, bisa membawa pendekatan yang lebih sensitif terhadap korban. Juga memiliki pengalaman lapangan yang kaya, serta kemampuan menangani kasus kekerasan berbasis gender secara lebih efektif.
Hal itu disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi dalam peluncuran buku “Women in Law Enforcement: Mendobrak Gender Trap Polisi Wanita” karya Irjen Pol. (Purn.) Juansih di Universitas Airlangga, Kamis (11/9).
Arifah melanjutkan, kehadiran Polwan dapat memastikan korban mendapatkan pendampingan empatik, proses investigasi berjalan tepat sasaran, dan risiko trauma tambahan dapat diminimalkan.
Meski demikian, Polwan masih menghadapi gender trap, termasuk stereotip peran, diskriminasi promosi, dan beban ganda yang membatasi potensi mereka menempati posisi strategis.
“Kehadiran dan perspektif perempuan dalam institusi kepolisian bukan sekadar pelengkap, tetapi kebutuhan nyata untuk menciptakan sistem hukum yang adil, manusiawi, dan berpihak pada korban,” ungkap Menteri PPPA.
Menteri PPPA juga menegaskan pentingnya penerapan pengarusutamaan gender secara konsisten di semua sektor, termasuk pemerintahan, dunia pendidikan, dan institusi kepolisian. Dengan demikian, perempuan memiliki peluang yang sama untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan strategis.
Sementara itu, menurut Irjen Pol. (Purn.) Dr. Juansih selaku penulis buku, Polwan memiliki potensi luar biasa untuk memimpin dan mengambil peran strategis. Dengan dukungan, pelatihan, dan kesempatan yang setara, Polwan dapat menjadi kekuatan penting dalam membangun kepolisian yang profesional dan responsif terhadap isu gender.
Terpisah, menurut Komisioner Komnas Perempuan Sundari Waris, Polwan adalah wajah negara yang penting hadir langsung di tengah masyarakat. Polwan menjadi sandaran bagi para Perempuan yang berhadapan dengan hukum yang dapat menjadi penyambung rasa aman, pengayom, sekaligus penguat keberanian bagi korban kekerasan untuk mencari keadilan.
“Kehadiran Polwan penting untuk membuktikan bahwa aparat penegak hukum dapat bekerja dengan perspektif kemanusiaan, terutama pada korban kekerasan berbasis gender,” tambahnya seperti dikutip dari laman Komnas Perempuan.
Perempuan pada institusi kepolisian memiliki peran strategis. Komisioner RR. Sri Agustini menjelaskan bahwa Komnas Perempuan mencatat pentingnya keterlibatan Polwan penting dalam kepemimpinan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, baik untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang, kejahatan siber, kekerasan berbasis gender online, hingga kekerasan seksual.
Lebih lanjut, Agustini menekankan bahwa berdasarkan laporan pengaduan kasus yang ditangani kepolisian, Polwan masih menghadapi tantangan besar dalam aspek pengarusutamaan gender, khususnya terkait aspek budaya, struktural dan subtansi hukum. Tantangan itu juga mencakup keterbatasan akses untuk memperluas ruang kepemimpinan di internal kepolisian maupun dalam memperjuangkan pemenuhan hak korban di ruang publik.
”Momentum Hari Polwan adalah pengingat bahwa negara perlu memperkuat peran bermakna mereka, bukan sekadar simbolik,” ujar Agustini.
Komnas Perempuan mencatat telah dibentuk Direktorat PPA PPO di Bareskrim Polri pada tingkat Mabes, serta keberadaan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak ( Unit PPA ) pada tingkat Polres di seluruh Indonesia. Peran dan kontribusi Polwan penting didorong pihak internal kepolisian agar menjadi pintu bagi korbankekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menurut Sundari, Komnas Perempuan menekankan pentingnya perhatian serius pada keterbatasan jumlah Polwan, khususnya di daerah terpencil. Selain itu, dukungan terhadap layanan berbasis gender menjadi langkah penting memperkuat Polwan.
Komnas Perempuan memandang penting peran Polwan dalam pelaksanan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mewajibkan penggunaan kerangka HAM dalam memperlakukan korban maupun perempuan berhadapan dengan hukum.
Menurut Komisioner Sondang Friska, Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women), mewajibkan negara peserta untuk menghapus diskriminasi dan memajukan kesetaraan gender, termasuk dalam sektor kepolisian. Hal Ini mencakup hak perempuan untuk menjadi anggota kepolisian dan pemenuhan hak mereka dalam menjalankan tugas.
Selain itu, terkait dengan misi Perdamaian, PBB menargetkan partisipasi Polwan minimal 20-30 persen di misi perdamaian, yang seharusnya menjadi acuan bagi Indonesia dalam memperkuat reformasi kepolisian. Dengan langkah ini, kepolisian dapat membangun kepercayaan publik, menegakkan HAM, serta memastikan perlindungan warga berlangsung setara dan bebas diskriminasi. (Sirana.id)
Baca juga: Survei Sebut Satu dari Empat Perempuan, Jadi Korban Kekerasan