Jakarta – Menanggapi konferensi pers Presiden pada 31 Agustus 2025 dan perintah Kapolri sebelumnya agar tembak di tempat dengan peluru karet bila ada massa yang menyerang markas polisi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
“Melabeli aksi demonstrasi masyarakat dengan tuduhan makar maupun terorisme sangatlah berlebihan, apalagi jika terus menerus disampaikan dengan narasi ‘campur tangan asing’ dan ‘adu domba’ saat masyarakat sedang berdemonstrasi menyuarakan aspirasi terkait kebijakan pemerintah yang bermasalah. Pernyataan presiden ini tidak sensitif terhadap segala keluhan dan aspirasi yang masyarakat suarakan dalam aksi demonstrasi
Aksi demonstrasi damai bukanlah tindakan makar maupun terorisme. Penegak hukum mempunyai wewenang untuk menindak setiap tindak pidana yang terjadi di lapangan namun perlu kami ingatkan juga agar segala tindakan yang diambil harus sesuai dengan prinsip proposionalitas, nesesitas dan legalitas yang berlandaskan nilai-nilai HAM. Negara tidak boleh menggunakan cara-cara yang melanggar HAM bahkan dalam merespon suatu tindak pidana sekalipun. Ada koridor yang telah ditetapkan dan aparat wajib mematuhi prinsip-prinsip HAM dalam mengamankan aksi demonstrasi.
Munculnya instruksi Presiden kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk mengambil langkah tegas yang kemudian dilanjutkan ke dalam kebijakan “tembak di tempat” kepada pengunjuk rasa yang dicap sebagai “anarkis” merupakan hal yang patut disesalkan.
Negara seharusnya merespons tuntutan dari berbagai kelompok rakyat dengan rangkaian perubahan kebijakan menyeluruh. Misalnya, membenahi kebijakan makan bergizi gratis, Danantara, Proyek Strategis Nasional hingga kebijakan tunjangan anggota parlemen yang dinilai tidak adil bagi rakyat.
Negara juga seharusnya melakukan evaluasi serius atas pengamanan aksi demonstrasi sekaligus mengusut dan mengadili semua aparat keamanan yang bertanggungjawab atas penggunaan kekuatan berlebihan. Dari mulai pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, sampai dan penggunaan kendaraan yang melindas Affan Kurniawan sampai tewas.
Setidaknya, negara harus melakukan sebuah investigasi yang independen dan terpercaya. Bukan hanya memberi sanksi ringan secara internal dan memilih memperkuat narasi yang menyudutkan masyarakat dengan terminologi “anarkis.” Pilihan kebijakan ini hanya menambah luka dan memperlebar jarak antara rakyat dengan negara.
Instruksi ‘tembak di tempat’ bahkan jika menggunakan peluru karet, tetap berisiko menimbulkan luka yang fatal bagi korban. Ini termasuk dapat mengenai orang yang tidak bersalah, termasuk warga masyarakat biasa yang sekadar berada di sekitar lokasi untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Instruksi dari Presiden dan Kapolri juga bisa berbahaya karena menutupi akar persoalan, yaitu maraknya ketidakpuasan rakyat atas praktik kebijakan negara yang buruk dan tidak adil. Instruksi itu juga seolah menutupi represi negara terhadap suara-suara kritis. Dengan ini, pemerintah seolah mengabaikan fakta bahwa aksi protes itu hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945. Menggiring opini publik bahwa demonstrasi identik dengan kerusuhan justru mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan membenarkan tindakan represif.
Perintah Kapolri kepada jajarannya untuk menembak di tempat dengan peluru karet terhadap massa yang menyerang markas polisi pasca-aksi protes terkait kematian pengemudi ojek online Affan Kurnawan adalah langkah yang keliru dan berbahaya.
Instruksi ini lahir bukan dari refleksi kritis atas kebijakan negara dan tindakan aparat dalam penanganan unjuk rasa, melainkan dari respons reaktif terhadap gelombang kemarahan publik yang justru dipicu oleh sikap represif kepolisian sendiri. Kematian Affan—yang tidak bersalah namun menjadi korban brutal kendaraan taktis Brimob—telah menjadi simbol kegagalan negara membuat kebijakan yang adil untuk rakyat dan dalam memastikan aparat melayani dan melindungi warganya.
Negara memang berwenang untuk menindak vandalisme atau penjarahan, tetapi tindakan tersebut harus dilakukan secara terukur, akuntabel, dan sesuai prinsip HAM. Negara tidak boleh ikut menyulut emosi dan penggunaan kekuatan senjata api sebagai jawaban atas kemarahan rakyat.
Yang lebih mendesak saat ini adalah evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan negara yang menyangkut kehidupan sosial ekonomi rakyat, seperti kenaikan pajak bumi dan bangunan, program makan bergizi gratis, tunjangan mewah bagi pejabat, hingga masalah perluasan peran militer di urusan non-pertahanan, dan perbaikan kesejahteraan rakyat. Hal-hal itulah yang selama ini terus disuarakan secara kritis oleh rakyat.
Di saat bersamaan, negara sebaiknya segera memperbaiki pola pengamanan unjuk rasa agar manusiawi. Hanya dengan cara itu negara bisa benar-benar hadir sebagai pelindung, bukan penindas rakyatnya.
Jangan pecah belah masyarakat dengan mengatakan bahwa aksi demonstrasi adalah bagian dari upaya pecah belah bangsa. Dengarkan aspirasi mereka dan kedepankan pendekatan HAM dalam merespon setiap aksi demonstrasi.”
Sebelumnya, laporan media mengungkapkan bahwa Kepala Kepolisian RI, Listyo Sigit Prabowo, lewat video conference (vidcon) meminta polisi menembak dengan peluru karet jika markas kepolisian diterobos massa. Ini terkait dengan aksi massa di depan Mako Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, selama beberapa hari terakhir sejak kematian pengemudi ojek online Affan Kurnawan akibat diterjang kendaraan taktis (rantis) Brimob Kamis 28 Agustus lalu. Aksi massa yang berujung bentrok dengan polisi juga berlangsung di markas-markas polisi di sejumlah kota sejak Jumat 29 Agustus.
“Jadi mulai hari ini haram hukumnya yang namanya mako diserang dan kalau sampai mereka masuk menyerang, aturan sudah ada, terapkan aturan itu. Kalau sampai masuk ke asrama, tembak dulu. Kalian punya peluru karet, tembak, paling tidak kakinya. Tidak usah ragu-ragu. Kalau ada yang menyalahkan, laporin. Listyo Sigit siap dicopot,” demikian arahan Kapolri dalam video tersebut,” kata Listyo dalam tayangan video yang telah beredar di media sosial pada Sabtu 30 Agustus kemarin.
Selain itu Presiden Prabowo pada 30 Agustus kemarin memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengambil langkah tegas dalam menghadapi aksi anarkistis unjuk rasa setelah dalam dua hari terakhir muncul kecenderungan aksi unjuk rasa di sejumlah kota berubah menjadi kericuhan dengan pembakaran gedung, fasiilitas umum, dan serangan ke kantor-kantor polisi.
Dari Sabtu sore hingga Minggu dini hari muncul kabar penjarahan atas rumah milik sejumlah anggota DPR, yaitu Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya dan Nafa Urbach. Rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menjadi sasaran penjarahan. (sirana.id)