Samarinda – Ruang terbuka hijau (RTH) masih menjadi tantangan wilayah perkotaan. Tak terkecuali kota Tepian. Padahal, ketersediaan RTH di Samarinda tidak hanya berdampak pada akses udara lebih segar, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental masyarakatnya. Samarinda seharusnya punya 30 persen dari luas lahannya. Namun, Samarinda masih belum bisa mengejarnya.
Karunia Haganta peneliti independen, menguraikan inisiasi RTH alternatif pereda stres. “Saya menyebutnya sebagai penyangga, sebenarnya saya tidak melihat ini sebagai suatu solusi. Karena solusinya memang harus menyentuh struktur, misalnya pemberian jaminan sosial, dan lain-lain,” tegasnya.
Karunia mengungkapkan, ada regulasi yang menyatakan sebagai kewajiban perkotaan dan memang banyak manfaat lainnya. “Contohnya yang dilakukan Jepang, misalnya tradisi shinrin-yoku atau disebut terapi hutan. Ternyata, jalan-jalan atau kebiasaan beraktivitas di RTH terbukti ampuh mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan, terutama mental,” terangnya.
Dia menambahkan, di Jepang banyak ruang publik yang menyediakan kursi besi dan banyak yang memanfaatkannya untuk duduk-duduk, dan dianggap sebagai pelepas penat. “Mereka memanfaatkan ruang terbuka untuk beraktivitas. Keluar sementara dari berbagai rutinitas, memulihkan diri agar tidak terus-menerus berinteraksi dengan kondisi sosial yang rumit,” jelasnya.
Lalu, populasi udara dan kebisingan sebagai salah satu faktor pemicu stres di perkotaan, dan RTH yang diciptakan memerlukan desain yang pas. “Bukan sekadar menyediakan RTH saja, tetapi dibuat agar pengunjung dapat menikmati akumulasi polusi yang terjebak di RTH sendiri,” ungkapnya.
Karunia juga mengungkapkan salah satu indikator berfungsinya RTH itu sendiri. “RTH ini harus dapat dijangkau tidak hanya oleh transportasi umum, bahkan oleh pejalan kaki. RTH harus didesain murah dan mudah diakses, penyediaannya juga seharusnya gratis,” sambung Karunia.
Rospita Odorlina P. Situmorang, Peneliti Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun mengurai fungsi dan implementasi di Indonesia pada kebijakan penyediaan RTH perkotaan.
Dia menyebut tiga alasan perlunya kebijakan RTH perkotaan. Pertama, karena beban kota semakin meningkat dengan pertumbuhan penduduknya akibat urbanisasi. Kedua, kualitas lingkungan perkotaan semakin rendah sehingga mengalami banjir dan polusi udara.
Kebisingan juga kerawanan sosial mengakibatkan menurunnya produktivitas masyarakat perkotaan. Ketiga, menurunnya ruang terbuka publik, karena kuantitas dan kualitas ruang publik, dan RTH perkotaan makin rendah.
Hal tersebut disampaikan Rospita dalam Webinar yang diselenggarakan Kelompok Riset Penduduk dan Pengelolaan Sumberdaya Alam PRK BRIN berjudul “Polemik dalam tatakelola dan pemanfaatan RTH Perkotaan,” Kamis (26/09).
“Strategi penyediaan RTH tentunya harus mengikuti kembali antara perencanaan dan implementasinya. Kami menyarankan untuk mengalokasikan fungsi kawasan lindung dan melakukan perlindungan terhadap kawasan tersebut,” ujarnya.
Caranya dengan memanfaatkan jalur pada jaringan jalan dan utilitas sebagai sarana penyediaan jalur hijau, melakukan pengaturan kepadatan bangunan, pemanfaatan berbagai lahan kosong dan bekas kawasan terbangun milik publik.
Kemudian, sosialisasi dan pendampingan masyarakat untuk mengisi ruang kosong dengan penanaman vegetasi, dan kerja sama dengan swasta. Berupa penyediaan berbagai variasi rekreasi pada RTH, juga penyediaan RTH private seperti perumahan, perkantoran, hotel, dll.(Sirana.id)
 
			 
					














