Pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro pada 28 Oktober 2024 diakui menyiratkan optimisme bagi dunia pendidikan tinggi.
“Jadi semua tergantung dari pimpinan perguruan tingginya. Kami berikan pada mereka keleluasaan dan kebebasan secara akademik. Tapi saya minta pada mereka, Bapak-Ibu Rektor tolong jaga dengan baik, karena kebebasan itu harus di barengi dengan akuntabilitas tanggung jawab pada publik” begitu kata Satryo Soemantri Brodjonegoro seperti yang dikutip dari rilis Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), pada 31 Desember 2024.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kompleksitas yang perlu mendapat perhatian serius, terutama dengan dinamika politik sepanjang 2024. Misal pada Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kampus-kampus di Indonesia menjadi sorotan. Empat elit akademik terekam dalam video yang memberikan apresiasi terhadap capaian pemerintah Jokowi, menciptakan kesan bahwa akademisi terlibat dalam propaganda politik. Mereka adalah Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Ahmad Sodik, Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jebul Suroso, Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) Hardi Winoto, dan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Yos Johan Utama (Kompas.com, 9 Februari 2024).
“Peristiwa ini merefleksi ancaman betapa rezim otoriter memaksakan kehendaknya untuk melegitimasi diri dan kebijakannya dengan pelumas intelektualisme. Kendali kekuasaan atas kampus sudah sedemikian primitif terjadi di Indonesia. Belum lagi, bagaimana dengan situasi terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 5 tahun kedepan. Selubung militerisme akan kuat membayangi
politik kekuasaan, dan secara langsung maupun tidak bertahap akan mempengaruhi dunia pendidikan tinggi,” begitu tulis KIKA dalam rilisnya.
KIKA meyakini, bahwa sumber pembentengan kebebasan akademik adalah penghargaan yang tinggi atas dunia ilmuwan, dunia pendidikan tinggi dan risetnya. Bilamana politik anti sains kuat melandasi kebijakan negara, maka sesungguhnya, sepanjang itu pula kerusakan sains dan dampak negatifnya akan besar terjadi di
lapangan, baik mengancam lingkungan, pula peradaban kemanusiaan.
Hal mendasar lainnya adalah sejauh mana kebijakan pemerintahan baru berkaitan dengan restrukturisasi (memecah) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di bawah Kabinet Merah Putih menjadi tiga kementerian baru, yakni: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (KemenDikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek), serta Kementerian Kebudayaan.
Kebijakan ini sudah hampir pasti akan disusul dengan kebijakan-kebijakan lain di sektor tata Kelola Pendidikan tinggi di Indonesia. Pada lain pihak, pemerintah juga harus berhadapan dengan mafia pengurusan-perolehan jabatan akademik guru besar atau jabatan fungsional lainnya, perilaku koruptif pengelola perguruan tinggi yang berkelindan dengan keberpihakan cenderung buta pula menundukkan diri terhadap penguasa. Sementara itu, khususnya untuk perguruan tinggi negeri, pemerintah (cq. Menteri
Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi atau Kemendiktisaintek), secara de jure, masih memiliki dan menguasai 35% hak suara dalam pemilihan dan penentuan pimpinan universitas atau Rektor, serta sangat digdaya dalam penempatan birokrat, anggota partai politik dll, sebagai anggota wali amanat.
Sebaliknya kontrol dan kendali atas perguruan tinggi swasta dilakukan dengan berbagai cara lain, antara lain melalui regulasi perihal akreditasi. Untuk keduanya, PTN dan PTS selanjutnya dibebankan target-target atau
capaian-capaian yang tidak kerap kali dalam praktiknya justru kontraproduktif. Misalnya terkait dengan penelitian dan pengabdian masyarakat yang dikaitkan dengan publikasi di jurnal terindeks scopus. Singkat kata, pembirokratisasian pengelolaan perguruan tinggi terus menguat dan yang dikorbankan adalah ikhtiar membangun suasana akademis di mana civitas academica dapat menikmati ruang kebebasan. (Sirana.id)