JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mencatat dalam kurun 2017 – 2021 terdapat 517 pelaku kekerasan seksual yang menjadikan tempat kerja tidak aman bagi perempuan. Mereka terdiri dari 326 pelaku adalah rekan kerja dan 191 atasan. Selain itu, sebanyak 20 perusahaan secara khusus dilaporkan sebagai unit pelaku. Karena enggan atau menolak untuk memproses laporan kekerasan seksual oleh perempuan pekerja, atau dengan proses penanganan yang justru merugikan korban.
Kekerasan seksual di lingkungan kerja, yang dilaporkan ke Komnas Perempuan berbentuk pencabulan, pelecehan seksual atau pemerkosaan. Kekerasan seksual ini terjadi di perusahaan swasta, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan di dunia hiburan.
“Dampak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang bisa terjadi di tempat kerja tersebut bisa mulai dari cemas, stress ringan sampai berat bahkan mungkin post traumatic stress disorder. Namun gangguan kesehatan jiwa ini sukar dikenali di tempat kerja baik oleh korban sendiri maupun di lingkungannya Sedangkan kekerasan seksual yang dialami korban dapat berdampak pada kondisi kerja yang tidak aman, terhambatnya proses kerja, tekanan psikis dan penurunan produktivitas kerja,” jelas Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan, dalam siaran pers Komnas Perempuan.
Selain itu, menurut Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan, “Potensi kerugian akibat menurunnya produktivitas pekerja akan berdampak lebih jauh terhadap perekonomian secara umum, sehingga seharusnya kondisi ini direspon dengan baik oleh pemerintah maupun pihak pemberi kerja agar perbaikan ini dapat terus ditingkatkan.”
Wajib Mengupayakan Kesehatan Jiwa
Dia pun menyebut Pasal 145 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.17/2023 tentang Kesehatan. Dalam aturan itu, mengatur bahwa upaya kesehatan jiwa diselenggarakan untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik. Menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Serta menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan dan potensi psikologis lainnnya
“Sayangnya infrastruktur terkait kesehatan jiwa tersebut masih mengalami tantangan di banyak wilayah di Indonesia termasuk di wilayah kepulauan,” sambung Satyawanti. (Sirana.id)
Baca juga: Beban Berlapis Perempuan dan Alasan Angka Pernikahan Menurun