Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi mengatakan budaya patriarki yang masih mengakar dalam masyarakat Indonesia telah melahirkan berbagai bentuk diskriminasi gender. Seperti marginalisasi, pelabelan, beban ganda, hingga kekerasan, yang membatasi ruang gerak perempuan. Meski capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia tahun 2024 mencapai 91,85 dan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) berada pada angka 0,421, masih terdapat disparitas antar daerah sehingga perjuangan menuju kesetaraan gender perlu terus diperkuat bersama. Konsep mubadalah pun mengemuka untuk menekan ketimpangan gender ini.
“Konsep mubadalah menghadirkan cara pandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra setara yang saling melengkapi. Melalui pendekatan ini, kita dapat menafsirkan ajaran agama secara lebih adil, mengikis diskriminasi, serta membuka ruang luas bagi perempuan untuk berkontribusi di berbagai sektor pembangunan. Saya mengapresiasi peran Fahmina yang secara konsisten mengarusutamakan mubadalah, karena inisiatif ini sejalan dengan upaya Kemen PPPA untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia,” ujarnya saat berkunjung ke Institut Islam Fahmina (STIF) Kota Cirebon. Kunjungan ini dalam rangka memperkuat pemahaman dan implementasi konsep mubadalah sebagai pendekatan transformatif dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Melansir dari laman Kementerian PPPA menambahkan bahwa nilai-nilai mubadalah harus menjadi landasan dalam membangun relasi sosial yang sehat dan harmonis, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Prinsip kesalingan yang ditawarkan mubadalah selaras dengan komitmen Kemen PPPA dalam memastikan perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang. Maka dari itu, kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting untuk mengakselerasi terwujudnya keadilan gender.
“Kita ingin memastikan bahwa perempuan tidak lagi terpinggirkan, melainkan menjadi bagian aktif dalam proses pembangunan bangsa. Perubahan kultural tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan kerjasama Pemerintah, akademisi, tokoh agama, media, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Kehadiran Institut Studi Islam Fahmina dengan inisiatif mubadalah menunjukkan bagaimana pemikiran keagamaan progresif dapat menjadi motor perubahan sosial. Dengan sinergi semua pihak, saya yakin kita bisa membangun Indonesia yang lebih setara, adil, dan inklusif,” ujar Menteri PPPA.
Ketua Yayasan Fahmina, Dr (HC) KH. Husein Muhammad menegaskan sejak didirikan pada tahun 2000, Fahmina konsisten merespons persoalan kekerasan terhadap perempuan, marginalisasi kelompok miskin, serta diskriminasi berbasis agama melalui transformasi sosial dan budaya yang berkeadilan. Dengan mengusung metodologi pembacaan teks keagamaan yang kontekstual dan teori mubadalah, Fahmina telah melahirkan lebih dari 500 ulama perempuan, mendirikan berbagai institusi pendidikan, serta memperoleh pengakuan internasional atas kiprah inovatifnya.
“Transformasi sosial di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tiga kekuatan besar, yakni tradisi, undang-undang negara, dan cara pandang keagamaan. Karena itu, kolaborasi lintas lembaga sosial dan keagamaan menjadi sangat penting untuk mewujudkan agama yang berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Harapan kami, kerja sama ini dapat terus menguat, sehingga nilai mubadalah semakin berakar dan membawa perubahan nyata bagi masyarakat,” ujar Ketua Yayasan Fahmina.
Dalam kunjungan ini, Kemen PPPA menegaskan komitmennya untuk terus bersinergi dengan lembaga sosial-keagamaan, akademisi, dan masyarakat sipil dalam mengarusutamakan nilai mubadalah. Pendekatan ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman keagamaan yang inklusif dan berkeadilan, sekaligus menjadi fondasi dalam membangun tatanan sosial yang lebih setara, adil, dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia. (sirana.id)