Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi dedikasi para guru yang menanamkan nilai hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, toleransi, serta perawatan kerja di ruang pendidikan. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristekdikti), terdapat sekitar 3,19 juta guru di Indonesia pada Semester I TA 2024/2025 dengan rincian guru perempuan sebanyak 2.185.396 (72%) dan guru laki-laki sebanyak 834.384 (28%). Data ini menunjukkan besarnya peran guru, khususnya perempuan, dalam menggerakkan dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan banyaknya mayoritas perempuan, profesi guru juga mencerminkan ketidaksetaraan gender di dunia kerja. Guru perempuan sering menangani beban ganda—tugas profesional di sekolah dan tanggung jawab domestik di rumah—yang jarang dihitung sebagai kerja produktif. Laporan CATAHU 2024 Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan pekerja di sektor pendidikan, termasuk guru, rentan mengalami diskriminasi berbasis gender, mengungkapkan seksual, hingga kekerasan dalam hubungan kerja. Hal ini mempertegas bahwa perjuangan kesejahteraan guru tidak bisa lepas dari perjuangan melawan kekerasan berbasis gender di ruang pendidikan.
Ironisnya, banyak guru yang masih berstatus honorer dengan gaji jauh di bawah kebutuhan hidup layak, bahkan di bawah upah harian buruh kasar. Kondisi ini menunjukkan lemahnya perhatian negara terhadap guru kesejahteraan, padahal Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menegaskan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan dan penghidupan yang layak. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menekankan bahwa guru berhak atas penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial.
Devi Rahayu, Komisioner Komnas Perempuan, menyatakan: “Kesejahteraan guru bukan sekedar tuntutan, melainkan kewajiban konstitusional negara. Tanpa guru yang sejahtera, mustahil pendidikan berkualitas dapat terwujud.”
Komnas Perempuan menegaskan bahwa negara harus menunaikan kewajibannya sesuai dengan instrumen internasional, yaitu: pertama, CEDAW Pasal 11 menjamin hak perempuan untuk bekerja dalam kondisi adil, aman, dan setara. Kedua, Tujuan SDGs 4 dan 5 pendidikan berkualitas dengan kesetaraan gender. Ketiga, Konvensi ILO 190 menegaskan hak pekerja untuk bebas dari kekerasan dan terbuka di dunia kerja.
Hari Guru Sedunia bukan sekedar seremoni, melainkan momen advokasi global. Komnas Perempuan menegaskan bahwa negara wajib mengakhiri praktik diskriminasi dan pemiskinan struktural terhadap guru, khususnya guru perempuan. Menghormati guru berarti menegakkan HAM, menghargai kerja pemeliharaan, dan menjamin masa depan bangsa. Memperingati hari Guru Sedunia 5 Oktober ini Komnas Perempuan dijanjikan kepada pemerintah dan lembaga pendidikan non pemerintah untuk:
- Mengalokasikan anggaran pendidikan yang berfokus pada kesejahteraan guru, bukan hanya infrastruktur.
- Memberikan pengakuan kerja perawatan sebagai kerja penting yang menentukan keberhasilan pendidikan.
- Memberikan perlindungan dari kekerasan berbasis gender di sektor pendidikan, termasuk mekanisme pengaduan yang aman dan berpihak pada korban.
- Menjamin jaminan penghasilan layak dan perlindungan sosial bagi semua guru, baik di perkotaan maupun daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
Daden Sukendar, Komisioner Komnas Perempuan, menegaskan: “Guru adalah garda terdepan bangsa. Tanpa guru yang dihormati dan disejahterakan, masa depan pendidikan Indonesia akan rapuh.” (Sirana.id)
Baca juga: Krisis Iklim dan Kerentanan Ganda Perempuan