Amnesty International Indonesia menyatakan penolakan keras terhadap masuknya nama Presiden kedua RI, Soeharto, dalam daftar calon penerima gelar Pahlawan Nasional. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa langkah ini merupakan pengkhianatan terhadap mandat rakyat sejak 1998 dan berpotensi mengakhiri proses reformasi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam pernyataan resminya, Hamid menekankan bahwa Soeharto justru jatuh karena gelombang protes publik yang melahirkan era reformasi. Pemberian gelar pahlawan kepada mantan presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu dinilai sebagai bentuk pemutusan dengan semangat reformasi. Lebih lanjut, ia menilai usulan Kementerian Sosial ini sebagai upaya sistematis untuk membersihkan citra rezim otoriter yang dicirikan oleh praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta pelanggaran HAM berat.
Selama masa pemerintahannya, rezim Orde Baru pimpinan Soeharto disebut membungkam kebebasan berekspresi, menekan oposisi, dan melakukan normalisasi pelanggaran HAM secara sistematis. Berbagai peristiwa kelam seperti pembantaian massal 1965-1966, penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari 1989, serta kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua menjadi catatan kelam yang tidak boleh dilupakan. Belum lagi penghilangan paksa aktivis menjelang keruntuhan pemerintahannya pada 1997-1998.
Meskipun negara telah mengakui berbagai peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat, baik melalui Ketetapan MPR di awal reformasi maupun pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada Januari 2023, tidak satu pun aktor utama, termasuk Soeharto, yang dimintai pertanggungjawaban. Alih-alih memberikan penghargaan, pemerintah seharusnya memprioritaskan penyelesaian yudisial dan non-yudisial atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Amnesty International Indonesia menuntut pemerintah untuk segera mengeluarkan nama Soeharto dari daftar calon Pahlawan Nasional. Menurut organisasi ini, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar tersebut, dan upaya pemberian gelar ini merupakan bentuk pemutarbalikan sejarah yang harus dihentikan.
Latar Belakang
Langkah kontroversial ini bermula ketika Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan dokumen berisi 40 nama calon Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 21 Oktober 2025. Selain Soeharto, daftar tersebut juga mencakup nama-nama seperti aktivis buruh Marsinah, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan Menteri Pertahanan M Jusuf, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, serta sejumlah ulama terkemuka.
Proses penetapan calon pahlawan nasional ini telah melalui sidang tim Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Selanjutnya, daftar nama-nama tersebut akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk ditentukan lebih lanjut. Pemerintah berencana menyelesaikan proses penetapan ini sebelum peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2025. (Sirana.id)
Baca juga: Kobaran Cipta Sungkawa II: Mahasiswa Kaltim Nyalakan Lilin Ingatan, Tolak Lupa atas Pelanggaran HAM












