Tenggarong – Tidak semua perempuan dan anak korban kekerasan akan langsung melapor. Beragam hal jadi alasan, melapor adalah sesuatu yang berat bagi para korban. Apalagi, tren kejadian kekerasan pada perempuan dan anak, banyak ditemukan di dalam rumah tangga. Maka dari itu, pemerintah berupaya memberikan berbagai program agar korban merasa aman jika melaporkan kasus kekerasan.
“Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kukar saat ini cukup tinggi. Namun ada begitu banyak korban yang enggan untuk melapor. Sehingga menyulitkan pihak terkait dalam penanganan dan pencegahannya,” kata Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) H Hero Suprayetno.
Padahal, DP3A Kukar memastikan akan melakukan pendampingan terhadap perempuan maupun anak-anak korban kekerasan. DP3A juga telah bekerja sama dengan tenaga ahli yakni psikolog klinis, konselor psikologi dan konselor hukum.
Namun, kondisi korban enggan melapor memang tidak hanya terjadi di Kukar. Tetapi juga berbagai wilayah di Indonesia bahkan dunia. Maka jangan heran, jika kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia disebut merupakan suatu fenomena gunung es. Dimana yang tercatat ataupun terlaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang terjadi. Masih banyak korban kekerasan yang enggan melaporkan tindak kekerasan yang dialami ataupun yang diketahui.
Sebab keengganan melapor ini cukup beragam. Utamanya adalah stigma negatif korban kekerasan khususnya pada kasus kekerasan seksual, hingga ketergantungan ekonomi maupun afeksi korban terhadap pelaku. Semenara, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai jaminan perlindungan dari kekerasan seksual dengan pengaturan hukum yang komprehensif mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam upaya memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. (advertorial/Diskominfo Kukar)