Data Global Burden of Disease (GBD) dari WHO (2022), pada tahun 2019, satu dari delapan orang di dunia menderita gangguan kesehatan mental. Sekitar 14 juta kasus gangguan makan secara global, 20 persen diantaranya terjadi pada anak dan remaja.
Kencana Sari, Peneliti Ahli Madya, Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi (PRKMG), mengungkapkan Kelompok usia remaja sangat rentan terhadap masalah kesehatan mental, termasuk gangguan makan.
“Meski kesadaran akan kesehatan mental meningkat, gangguan makan sering kali tidak terdeteksi atau kurang diteliti, padahal dampaknya serius mulai dari gizi kurang hingga obesitas,” terang Kencana menjelaskan studinya tentang “Gangguan Makan pada Remaja”.
Menurutnya, faktor penyebab meliputi psikologis, sosiodemografi, dan lingkungan, tetapi mekanisme pasti (terutama untuk binge eating disorder) masih kompleks dan menjadi tantangan kesehatan masyarakat.
Sementara itu, Rofingatul Mubasyiroh, Peneliti Ahli Madya, Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi (PRKMG) BRIN memaparkan hasil studinya bersama tim tentang “Pola Konsumsi yang Berhubungan dengan Gejala Depresi pada Remaja: Hasil Studi Tahun 2024.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 17,5% remaja mengalami gejala depresi. Terdapat lima pola konsumsi utama yang terbentuk: makanan padat gizi, modern-western, tradisional Indonesia, protein hewani, dan produk susu-probiotik.
Penelitian yang dilakukan pada Mei hingga Juli 2024 di empat SMA Negeri di Kota dan Kabupaten Bekasi melibatkan 226 siswa berusia 15–18 tahun. Studi ini menggunakan pendekatan potong lintang (cross-sectional) dan instrumen pengukuran seperti Kessler-10 untuk gejala depresi serta Food Frequency Questionnaire (FFQ) dalam menganalisis pola konsumsi makanan.
Menurut Rofingatul, dua dari lima pola konsumsi—yaitu pola modern-western dan pola tradisional Indonesia—menunjukkan hubungan bermakna dengan gejala depresi. Uniknya, semakin rendah frekuensi konsumsi dari kedua pola tersebut, semakin rendah pula gejala depresi yang ditemukan pada remaja.
“Pola modern-western seperti fast food, jajanan manis, dan minuman berpemanis, bila dikonsumsi dalam frekuensi sedang, menunjukkan efek protektif terhadap gejala depresi dibandingkan frekuensi tinggi,” jelasnya.
Sementara itu, pola makanan tradisional Indonesia yang didominasi oleh konsumsi nasi, kacang-kacangan, dan sayur, justru berhubungan dengan gejala depresi pada tingkat konsumsi yang tinggi. Ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan konsumsi nasi berlebihan dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.
Lebih lanjut, pola konsumsi padat gizi, protein hewani, dan produk susu-probiotik tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan gejala depresi. Rata-rata konsumsi harian menunjukkan bahwa pola modern-western sebesar 3,8 kali per hari hampir menyamai pola tradisional-Indonesia dikonsumsi 4,1 kali per hari, menandakan adanya pergeseran preferensi makanan di kalangan remaja Indonesia.
Temuan ini, menurut Rofingatul, menggarisbawahi perlunya edukasi gizi dan promosi gaya hidup sehat sejak usia sekolah. Ia menambahkan bahwa pendekatan berbasis bukti sangat penting dalam merumuskan kebijakan intervensi kesehatan jiwa remaja. (Sirana.id)