Berbagai indikator internasional yang kredibel menunjukkan erosi kebebasan dan hak asasi manusia di Indonesia. Freedom House mencatat penurunan tajam dalam kebebasan sipil dan hak politik, di mana indeks demokrasi Indonesia turun dari skor 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024.
World Press Freedom Index 2025 pada 3 Mei lalu mencatat, indeks kebebasan pers di Indonesia kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara. Economist Intelligence Unit (EIU) juga masih menilai Indonesia sebagai “demokrasi cacat”. Dan laporan terbaru V-Dem Institute mencatat, Indonesia tergelincir dari status demokrasi elektoral menjadi otokrasi elektoral.
Menurut Amnesty Internasional, kemerosotan itu terjadi karena Indonesia menjauhi cita-cita reformasi dengan melemahnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, otonomi daerah, hingga jaminan kebebasan sipil maupun pers.
“Jangankan Tragedi 1965/1966 atau Tragedi Tanjung Priok 1984, penembakan mahasiswa Trisakti, pembakaran anak-anak miskin kota dan pemerkosaan masal Mei 1998 yang tidak terlalu lama saja luput dari supremasi hukum. Ini tragedi luar biasa yang dilupakan. Alih-alih ada keadilan korban, fakta tragedi ini justru terancam hilang oleh kebijakan penulisan ulang sejarah,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid..
Erosi kebebasan politik juga terlihat pada kasus-kasus serangan terhadap kebebasan sipil maupun pers. Kasus terakhir, aparat menangkap mahasiswi seni rupa ITB yang membuat meme Presiden dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda 12 miliar rupiah. Kebebasan berkesenian juga terancam seperti dialami pelukis Yos Soeprapto di Jakarta, teater “Wawancara dengan Mulyono” di Bandung dan band Sukatani dari Purbalingga belum lama ini.
Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019-2024 setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban. Pelaku didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dengan 271 korban) dan laporan Pemerintah Daerah (63 kasus dengan 68 korban). Terakhir, aparat menangkap mahasiswa Universitas Diponegoro dengan pasal “penyekapan” saat Aksi MayDay.
Di area legislasi, KUHP baru masih berpotensi membungkam kritik, termasuk pasal anti makar, penodaan agama, penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat dan institusi negara. Rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU Polri juga lebih terlihat seperti perebutan wewenang antara kepolisian dan kejaksaan tanpa mementingkan jaminan hak asasi manusia.
“KUHP baru itu perlu direvisi kembali. Apalagi usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sejumlah putusan penting pada April lalu. Salah satunya, mengecualikan institusi pemerintah, korporasi, profesi, dan jabatan dari pihak yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik. Ini modalitas positif yang membawa harapan,” kata Usman.
Selain merosotnya indeks kebebasan pers, Amnesty bersama Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga mencatat kasus-kasus intimidasi dan kekerasan pada jurnalis. RUU Penyiaran juga berpotensi membungkam kritik media terutama jurnalisme investigatif.
Sepanjang lima bulan sejak Januari hingga Mei tahun ini saja, setidaknya telah terdapat 29 jurnalis yang menjadi target serangan. Termasuk di Kalimantan Timur.
Serangan ke Jurnalis dan Content Creator di Kalimantan Timur
Pada Mei ini, pemimpin media, content creator, mengalami intimidasi berupa penyebaran data pribadi (doxing). Aksi doxing ini dilakukan sejumlah akun media sosial yang memanfaatkan narator artificial inteligence (AI). Doxing terjadi setelah content creator dan jurnalis media, melakukan kritik terhadap beberapa kinerja pembangunan pemerintah di Samarinda.
“Praktik doxing adalah bentuk intimidasi yang tak bisa ditolerir. Ini teror terhadap orang-orang yang justru menjalankan fungsinya untuk mengawasi kekuasaan. Ruang digital memang bebas, tapi bukan berarti semua bentuk kekerasan dibenarkan,” tegas Yuda Almerio, Ketua AJI Kota Samarinda dalam diskusi pada Sabtu 18 Mei 2025.
Ia menambahkan bahwa doxing adalah bagian dari kekerasan digital yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Dalam era banjir informasi dan algoritma, jurnalis menjadi garda terdepan dalam menyaring disinformasi melalui pelaporan berbasis fakta dan verifikasi.

Data AJI Indonesia menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terjadi 91 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan jenis serangan digital—seperti doxing dan peretasan—menjadi salah satu tren yang meningkat signifikan, terutama menjelang tahun politik. Tak terkecuali di Samarinda, yang kasusnya tak hanya soal doxing.
“Sementara di Samarinda ada empat kejadian dalam pantauan kami. Ada doxing, intimidasi siber hingga peretasan web media online,” kata Yuda.
Ketua PWI Kalimantan Timur, Rahman, juga menyoroti lemahnya perlindungan terhadap insan pers. Doxing adalah tindakan pengecut dan terkutuk. Kritik terhadap kekuasaan adalah hal lumrah. Pemerintah memiliki anggaran besar, tentu wajib diawasi.
“Kalau ada konten keliru, tempuhlah mekanisme yang sesuai lewat Dewan Pers, bukan justru meneror jurnalis,” kata Rahman.
Ia juga menekankan pentingnya solidaritas lintas organisasi dan media. Intimidasi terhadap satu jurnalis akan berdampak pada iklim kerja semua insan pers.
“Kita harus bersatu, tak melihat latar organisasi. Demokrasi membutuhkan pers yang kritis dan independen,” lanjutnya.
Senada, Ketua IJTI Kalimantan Timur, Prio Fuji Mustopan, menyatakan bahwa ruang digital semestinya menjadi wadah berbagi informasi dan kritik, bukan arena penyebaran aib.
“Penggunaan teknologi dan AI di media sosial harus diiringi kebijaksanaan. Jejak digital tidak bisa dihapus, dan tindakan doxing merusak iklim demokrasi yang sehat,” ujar Prio. (Sirana.id)