Merespons pidato Presiden Indonesia di Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
“Pidato presiden di PBB menyebut kesetaraan, keadilan, perdamaian, dan menawarkan 20.000 pasukan Indonesia untuk misi penjaga perdamaian. Retorika yang terdengar mulia itu berbanding terbalik dengan kebijakan luar dan dalam negeri dalam isu yang diangkat.
Presiden tidak lantang menyebut yang terjadi di Palestina sebagai genosida. PBB maupun lembaga HAM internasional seperti Amnesty International telah mengkonfirmasi terjadi genosida di Palestina yang dilakukan Israel.
Penggunaan kata “catastrophe” oleh presiden untuk menjelaskan situasi Gaza berpotensi mengaburkan tanggung jawab Israel atas genosida. Penting bagi komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk mengakhiri genosida dan mengadili yang bertanggung jawab.
Indonesia semestinya mendesak Israel membongkar permukiman ilegal dan berhenti berdagang atau berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang berkontribusi terhadap genosida, apartheid, atau pendudukan ilegal Israel.
Sejalan dengan Advisory Opinion ICJ Juli 2024, Indonesia harus menyerukan mengakhiri pendudukan militer Israel didasarkan pada fakta bahwa pendudukan tersebut merupakan akar penyebab pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan berkepanjangan terhadap warga Palestina di tangan otoritas Israel dan pilar sistem apartheid Israel.
Di tingkat kebijakan nasional, Indonesia semestinya meneguhkan lagi komitmen untuk meratifikasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional. Ratifikasi ICC masuk dalam empat kali RANHAM sejak 1998, tapi hilang dalam RANHAM kelima di era pemerintahan Jokowi.
Pidato di PBB memang penting. Tapi kredibilitas Indonesia di mata dunia tidak ditentukan oleh pidato yang menggebu dan kata-kata indah, tapi tindakan nyata. Apa yang dikatakan semestinya sesuai dengan apa yang dilakukan. Selain krisis Palestina, Indonesia perlu membuat terobosan dalam mengakhiri pelanggaran HAM yang berat terhadap Rohingya.
Indonesia juga perlu memperbaiki kondisi HAM dalam negeri.
Jangan sampai, ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang samudera tampak jelas. Presiden dengan lantang membicarakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penjajah. Begitu pun pelanggaran HAM yang terjadi di luar negeri seperti Palestina. Namun ironisnya diam dalam membicarakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara di Indonesia.
Tidak ada pengakuan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi pasca kemerdekaan, apalagi komitmen menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi setelah periode kolonialisme berakhir. Pengakuan negara adalah elemen penting untuk menghadirkan keadilan bagi keluarga korban. Sayangnya ini tidak terlihat dalam pidato Presiden.
Presiden juga menegaskan pentingnya hak hidup, kebebasan, dan kesetaraan. Tetapi di Indonesia, kebebasan berekspresi masih terbelenggu. Presiden menyebut ‘semua manusia diciptakan setara’ tapi bertolak belakang dengan realitas diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia.
Kelompok minoritas agama juga belum meraih perlakuan setara. Sejak pemerintahan Prabowo dimulai pada 20 Oktober 2024, kami mencatat setidaknya terdapat 13 kasus kekerasan terhadap minoritas beragama. Ini artinya kesetaraan yang digaungkan Prabowo dalam pidato belum tercermin dalam realita di Indonesia. Ini hanya retorika kosong.
Dalam pidatonya, presiden juga mengangkat masalah kolonialisme, tetapi mengabaikan Tanah Papua, wilayah yang hingga kini sarat dengan masalah militerisasi, diskriminasi rasial, dan pelanggaran HAM yang tak kunjung diusut tuntas.
Yang menjadi perhatian pemerintah di Papua adalah kebijakan ekstraktif yang berpotensi merusak lingkungan dan merampas hak masyarakat adat atas tanah seperti yang terjadi pada program food estate di Merauke. Pemerintah terus menggodok proyek pembangunan di atas tanah milik masyarakat adat tanpa adanya partisipasi dari mereka. Indonesia harus menunjukan keadilan yang digaungkan pada pidato Presiden di Sidang Umum PBB dengan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Pidato Presiden jatuh sehari menjelang Hari Tani Nasional. Semestinya pidato Presiden yang mengklaim swasembada beras itu diikuti fakta penyelesaian konflik agraria di Indonesia.”
Latar belakang
Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan pidato pada Sesi Debat Umum Sidang Majelis Umum Ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, Selasa 23 September 2025.
Disampaikan dalam Bahasa Inggris, presiden mengemukakan beberapa poin, di antaranya soal kesetaraan dan HAM, mengecam kolonialisme dan apartheid, pengerahan pasukan perdamaian, ketahanan pangan dan perubahan iklim, hingga dukungan Indonesia atas solusi dua negara di Palestina. (Sirana.id)