TENGGARONG — Desa Perangat Baru, Kecamatan Marang Kayu, sukses membuktikan bahwa potensi lokal dapat menjadi penggerak ekonomi desa. Salah satunya melalui kopi luwak hasil fermentasi alami yang kini menembus pasar ekspor dengan harga fantastis, mencapai Rp5 juta per kilogram.
Kepala Desa Perangat Baru, Fitriari, menjelaskan bahwa produk unggulan ini telah resmi diluncurkan dalam sebuah acara di Hotel Mercure Ibis dan mendapat respon positif dari berbagai pihak, termasuk calon pembeli luar negeri.
“Kami meluncurkan kopi luwak di Hotel Mercure Ibis. Alhamdulillah, harga ekspor bisa tembus Rp5 juta per kilogram,” ujar Fitriari, Sabtu (10/5/2025).
Untuk pasar lokal, kopi luwak ini ditawarkan seharga Rp4,25 juta per kilogram, terutama di kawasan wisata Bukit Luar Bandrol. Dengan dua kali masa panen tiap tahun—Agustus dan Februari—dan rata-rata hasil lima kilogram per pohon, komoditas ini menjadi sumber ekonomi baru yang menjanjikan bagi masyarakat desa.
Saat ini produksi masih digarap oleh kelompok tani. Namun, pemerintah desa tengah menyiapkan skema pengelolaan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk memperkuat Pendapatan Asli Desa (PAD) serta memastikan manfaat ekonomi dapat dirasakan lebih luas oleh masyarakat.
“Kami ingin masyarakat melihat ini bukan sekadar usaha kelompok, tapi sebagai aset desa yang dikelola profesional,” tambah Fitriari.
Untuk menjamin keberlanjutan produksi, pemerintah desa juga menerbitkan peraturan desa yang mewajibkan setiap kepala keluarga menanam minimal 10 pohon kopi. Langkah ini diambil demi menjaga ketersediaan bahan baku di tengah tingginya permintaan pasar.
“Yang jadi tantangan bukan soal rasa atau harga, tapi soal ketersediaan stok. Itu yang sedang kami fokuskan,” ungkapnya.
Tak hanya kopi luwak, petani di Perangat Baru juga mulai mengembangkan varietas lain seperti Liberica, Red Honey, dan Natural. Ketiganya dijual di kisaran harga Rp800 ribu hingga Rp900 ribu per kilogram.
Pengembangan sektor kopi ini turut mendapat dukungan dari program CSR Pertamina Hulu Kalimantan Timur, berupa pelatihan, bantuan bibit, hingga alat produksi.
Sebagai bentuk diversifikasi, desa ini juga merintis wisata edukatif berbasis kopi. Pengunjung bisa melihat langsung proses budidaya, ikut memetik kopi, hingga meracik dan mencicipinya seperti seorang barista.
“Kami ingin membangun citra bahwa kopi dari desa ini bukan sekadar produk lokal, tapi komoditas bernilai tinggi yang mampu menopang ekonomi masyarakat,” pungkas Fitriari. (Adv/DPMD Kukar)