Samarinda – Pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM pada tanggal 18 September 2025 mengumumkan penghentian sementara 36 perusahaan pertambangan batu bara di Kalimantan Timur. Namun, Jatam Kaltim mengkritik langkah ini, sebab dianggap solusi semu.
Total, ada 190 daftar perusahaan yang dihentikan sementara oleh Kementerian ESDM di Indoensia, 36 diantaranya ada di Kaltim. Namun bagi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, langkah ini sama sekali belum menyentuh akar persoalan. Justru, keputusan penghentian sementara ini hanya menambah daftar panjang “ritual administratif” yang tidak pernah benar-benar menyentuh penderitaan rakyat dan kerusakan
ekologis yang ditimbulkan tambang.
“Penghentian sementara seolah-olah memberi pesan bahwa pemerintah tegas. Padahal, kita tahu persis, mayoritas perusahaan tambang di Kalimantan Timur beroperasi dengan model bisnis yang sama. Ekspor batubara, raup untung, tinggalkan lubang. Pengawasan nihil, reklamasi hampir mustahil,” tulis Jatam Kaltim dalam rilisnya.
Sementara pemerintah, baik pusat maupun daerah, terus menerima setoran royalti dan pajak yang sering kali dijadikan alasan untuk menutup mata terhadap pelanggaran. Jatam Kaltim pun menyebut kasus CV Arjuna adalah bukti telanjang praktik tambang penuh penyimpangan, penyetoran Jamrek yang tidak jelas, dan keterlibatan pejabat dalam jaringan rente yang berujung pada praktik korupsi. CV Arjuna hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya, mungkin saja puluhan bahkan ratusan perusahaan bermain dalam lingkaran yang sama, antara setoran, pembiaran, dan kolusi.
Sejak lama, praktik “sanksi” dalam dunia pertambangan hanya berfungsi sebagai pintu tawar-menawar antara pemerintah dan korporasi. Alih-alih memberi efek jera atau memastikan pemulihan lingkungan, penghentian sementara lebih sering menjadi alat tekanan agar perusahaan segera “menyelesaikan kewajiban administratif” atau membayar sejumlah denda yang pada akhirnya tidak pernah berbanding dengan kerusakan ekologis dan sosial yang ditimbulkan.
“Tahun 2015 lalu merupakan bukti nyata pada saat JATAM Kaltim melaporkan 11 perusahaan bermasalah terkait kasus lubang tambang, dan perusahaan tersebut hanya dihentikan sementara. Saat itu mereka diwajibkan menutup lubang tambang dan reklamasi, namun faktanya itu tidak terjadi. Apakah pemegang IUP, PKP2B, IUPK selama beroperasi telah melaksanakan sesuai UU?” lanjut mereka.
JATAM KALTIM pun meragukan sanksi seperti ini akan efektif, tanpa melibatkan masyarakat korban
dalam mengevaluasi. Sanksi administratif penghentian sementara perusahaan-perusahaan yang belum menempatkan dana jamreknya haruslah transparan dibuka untuk warga lingkar tambang. Sesuai jangka waktu
yang diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Permen ESDM 26/2018, penghentian sementara berlaku paling lama 60 hari kalender. Maka, melebihi 60 hari kalender dan perusahaan tersebut belum menempatkan dana jamrek maka Menteri harus menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin sesuai Pasal 53 Permen tersebut.
Terlepas dari sanksi penghentian sementara terhadap perusahaan yang belum menempatkan dana jaminan reklamasi yang hanya akal bulus mencari cuan. Pemerintah justru melewatkan perusahaan-perusahaan yang akibat tidak direklamasi lubang tambangnya telah merenggut puluhan nyawa di Kalimantan Timur. JATAM Kaltim mencatat sejak 2011-2025 terdapat 32 perusahaan yang tidak bertanggung jawab dengan 49 korban meninggal di bekas galian tambang yang tidak melakukan reklamasi dan pasca tambang. Bahkan terhadap 49 korban tersebut hanya 1 kasus lubang tambang yang diproses hukum. Kasus tersebut yang menyebabkan tewasnya alm.Ardi pada tahun 2015. Bahkan vonis majelis hakim sangat rendah yakni 2 bulan kurungan penjara dan
denda seribu rupiah, jelas sekali putusan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan bagi keluarga
korban.
Padahal jelas diatur dalam Pasal 21 PP 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang bahwa reklamasi harus dilakukan paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan di lahan terganggu. Akibat kelalaian perusahaan yang tidak mereklamasi lubang dalam jangka waktu 30 hari, bahkan lubang-lubang tersebut masih menganga hingga kini, dan telah mengakibatkan korban jiwa. Bagi JATAM KALTIM, perusahaan telah lalai dan karena kelalaiannya telah mengakibatkan korban jiwa. Sesuai Pasal 359 KUHP perusahaan harusnya dapat diproses secara pidana. (sirana.id)