JAKARTA – Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat antara tahun 2016 hingga 2023, terdapat 29 anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme. Data ini mencakup anak-anak yang menjadi pelaku maupun korban. Mengupayakan perlindungan untuk anak dari jaringan terorisme pun mesti dilakukan.
Hal ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini terhadap generasi masa depan bangsa. Anak-anak yang terlibat sering kali merupakan korban dari propaganda dan doktrin jaringan teroris, serta menghadapi trauma fisik dan emosional yang mendalam.
Sekretaris Utama BNPT, Bangbang Surono mengungkapkan terdapat dua fenomena yang melibatkan anak-anak dalam jaringan terorisme yang menjadi peringatan khusus bagi pemerintah.
“Di Indonesia ada dua fenomena pelibatan anak-anak dalam jaringan terorisme, yaitu pada saat keberangkatan anak-anak ke wilayah ISIS di Suriah pada periode 2014-2018 dan pelibatan anak-anak dalam aksi peledakan bom di Surabaya pada tahun 2018. Beberapa kejadian ini menjadi wakeup call bagi pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk lebih serius melindungi anak-anak dari pengaruh jaringan teroris,” ujar Bangbang Surono seperti dikutip dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pemerintah menurut Bangbang juga berupaya melindungi anak-anak dari propaganda ekstremisme berbasis kekerasan yang memanfaatkan kemajuan teknologi.
“Anak-anak yang terkait dengan kelompok teroris sering menghadapi stigma dan diskriminasi. Kita harus memastikan bahwa mereka diperlakukan sebagai korban, bukan pelaku, agar mereka tidak menjadi objek diskriminasi,” tegas Bangbang.
Sejak 2018, pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah progresif melalui berbagai inisiatif, termasuk pengesahan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan. Pedoman ini menekankan pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak sebagai prinsip utamanya. (sirana.id)