Samarinda, 20 September 2025 – Malam September yang sarat kenangan kelam kembali dihidupkan melalui gelaran Kobaran Cipta Sungkawa II, sebuah ruang ingatan yang diinisiasi oleh Ormawa FISIP Universitas Mulawarman bersama Komite September Hitam. Kegiatan ini berlangsung di halaman FISIP Unmul pada Sabtu malam (20/9), dihadiri mahasiswa lintas kampus hingga masyarakat sipil, sebagai upaya merawat ingatan dan menolak lupa atas tragedi pelanggaran HAM di Indonesia.
Acara ini tidak hanya sekadar seremoni, melainkan sebuah napas panjang dari kesadaran sejarah. Suasana malam itu dihiasi oleh orasi politik yang tajam, pembacaan puisi yang menyentuh relung hati, serta cahaya lilin yang berkelap-kelip bagai jiwa-jiwa yang menuntut keadilan. Setiap rangkaian acara dirancang untuk mengingatkan bahwa luka akibat pelanggaran HAM masa lalu masih membekas dan belum menemukan titik terang keadilan yang sesungguhnya.
Fatih Ramadhan dalam wawancaranya menegaskan, sejarah panjang dosa negara tidak berhenti pada masa lalu. “Dari tragedi 1965 hingga era Orde Baru, bahkan sampai hari ini di zaman Presiden Prabowo, praktik pelanggaran HAM masih meninggalkan jejak nyata. Dwi fungsi aparat yang kembali merangsek ke ranah sipil dan represifitas negara adalah tanda bahwa demokrasi kita tengah diuji,” ujarnya.
Suara lain datang dari Mochammad Abim Bachtiar, Presiden BEM FISIP Universitas 17 Agustus Kalimantan Timur, yang menyampaikan pentingnya menjaga semangat perjuangan meski intimidasi dan penangkapan kerap membayangi. “Semangat kita terbangun kembali,” ungkapnya, sembari menegaskan bahwa tragedi September, mulai dari pembunuhan Munir hingga peristiwa Semanggi, harus terus direfleksikan agar keadilan tidak berhenti di jalan buntu.
Muhammad Jamil Nur, Presiden BEM FISIP Unmul, menyampaikan bahwa Kobaran jilid kedua ini adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. “Perlu kita merawat ingatan, perlu kita menolak untuk lupa terhadap tragedi pelanggaran HAM maupun tragedi represifitas,” tegasnya. Ia juga menekankan bahwa momentum September adalah pengingat sekaligus peringatan agar tragedi Munir, Tanjung Priok, hingga kasus hilangnya aktivis tidak sekadar menjadi catatan sejarah berdebu.
Lebih jauh, Jamil menyoroti arah gerakan mahasiswa hari ini. “Kita melihat bagaimana gerakan mahasiswa kerap terlibat dalam resistensi terhadap aparat, namun di sisi lain ada pula yang justru terlihat bermesra-mesraan dengan kepolisian. Sebagai mahasiswa FISIP, kita harus hadir dengan gerakan yang menjadi pemantik, khususnya di Kalimantan Timur,” pungkasnya.
Kobaran Cipta Sungkawa II ditutup dengan seruan bersama, bahwa mahasiswa tidak boleh berpangku tangan atau menjadi penonton pasif di tengah carut-marut bangsa. Diam adalah bentuk pengkhianatan, dan menolak untuk melupakan adalah kewajiban generasi yang mewarisi luka yang belum sembuh. Acara ini bukan akhir, melainkan pematik untuk aksi-aksi selanjutnya, memastikan bahwa api perjuangan dan ingatan akan terus menyala di hati generasi muda Kaltim. (Sirana.id)