SAMARINDA – Batu Bara Kaltim masih menjadi salah satu tulang punggung APBD Kaltim. Pasalnya, postur APBD Kaltim sebagian besar masih bersumber dari dana bagi hasil, baik di sektor tambang batubara dan migas. Padahal, komoditas batu bara, minyak dan gas itu pada saatnya pasti akan habis dan berakhir. Batubara dan migas adalah sumber daya alam tak terbarukan, sehingga tidak mungkin bisa diperbaharui.
Bukan hanya itu, harga batubara, minyak dan gas setiap saat bisa menukik turun akibat sentimen global. Seperti situasi perang di Timur Tengah dan menurunnya permintaan dunia.
“Andalan Indonesia misalnya batubara. Begitu China tidak beli, tutup sedikit saja, negara lain masuk harganya langsung anjlok, terjun ciruk,” terang Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud.
Menurutnya, hal ini perlu disampaikan agar semua OPD yang berhubungan dengan penerimaan daerah, tidak selalu hanya mengandalkan DBH dan DBH. Kaltim sudah harus menyiapkan sumber-sumber penerimaan baru yang berkelanjutan.
Sebagian negara-negara dunia saat ini mulai beralih pada penggunaan energi baru terbarukan. Karena itu, Kaltim harus siap dengan kondisi tersebut, termasuk pula menyiapkan potensi-potensi penerimaan daerah dari tata kelola pembangunan hijau.
Kaltim perlu menggali sektor-sektor potensial di pertanian, perkebunan, industri pengolahan dan pariwisata. Selain itu, optimalisasi penerimaan daerah juga bisa dilakukan melalui perusahaan-perusahaan daerah (perusda) milik Pemprov Kaltim.
Selain itu, jika seluruh negara menjalankan komitmen iklim masing-masing, permintaan batu bara akan turun 20 persen sebelum 2030 dan 70 persen sebelum 2050. Maka dari itu, Kalimantan Timur atau daerah lain juga harus melepaskan diri perlahan dari ketergantungan batu bara. Apalagi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, PDRB 2024 Kaltim dari sektor pertambangan dan penggalian, tercatat menurun. Pada 2023 sektor ini menyumbang peranan 43,19 persen. Sedangkan, 2024 turun menjadi 38,38 persen.
Di sisi lain, kekayaan sumber daya alam (SDA) di Kaltim memang tak berbanding lurus dengan upaya menyejahterakan seluruh masyarakatnya. Kemiskinan masih ada, sekolah tak layak masih ada, dan pengangguran juga banyak. Begitu pun dengan bencana ekologis dan kematian puluhan anak-anak di lubang tambang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada awal 2024, di provinsi tempat batu bara itu dikeruk, diangkut, dan dikirim ke luar negeri, ada 221 ribuan penduduk yang tergolong miskin. Mereka hidup kurang dari Rp833.955 untuk tiap orang per bulan. (ffy/Sirana.id)