Samarinda – Sabtu, 8 Maret 2025, menjadi hari peringatan Hari Perempuan Internasional (IWD). Aksi damai yang dilakukan oleh koalisi Masyarakat Sipil Setara berhasil menarik perhatian publik. Aksi yang digelar di Taman Samarendah, Kota Samarinda ini bertujuan untuk memperjuangkan dan menuntut keadilan serta kesetaraan bagi para perempuan.
Aksi ini dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat, mulai dari teman-teman Jatam, Kelompok Belajar Anak Muda, Perempuan Mahardika, Puan Mahakam, BEM KM Unmul, BEM FKIP Unmul, serta beberapa organisasi internal, eksternal, dan individu yang berempati terhadap isu-isu perempuan.
Kepala Dinas Gender BEM FKIP Unmul sekaligus calon anggota Perempuan Mahardika, Iis Supia, yang saat itu menjadi salah satu masa aksi IWD, mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini masih menjadi masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Data terbaru menunjukkan bahwa angka kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual terhadap perempuan di Kaltim, masih terus meningkat setiap tahunnya, bahkan setelah pengesahan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per Juli 2024, tercatat sebanyak 569 kasus. Yang lebih miris, korbannya tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Bahkan, jumlah kekerasan terhadap anak-anak merupakan yang paling tinggi,” ujarnya.
Kasus-kasus itulah yang akhirnya menjadi faktor peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim. Banyak korban kekerasan yang enggan melapor karena faktor budaya, ketergantungan ekonomi, atau ketakutan terhadap stigma sosial.
“Walaupun regulasinya sudah kuat, implementasi dan penegakan hukum masih perlu ditingkatkan. Masih diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi semua perempuan.” Ungkap Iis.
Perlu adanya upaya pencegahan, penanganan, dan edukasi tentang hak-hak perempuan. Selain itu, sosialisasi tentang hak-hak perempuan dan layanan perlindungan yang tersedia harus terus digencarkan. Pendidikan sejak dini tentang kesetaraan gender dan penghargaan terhadap martabat manusia juga perlu diintegrasikan dalam kurikulum sekolah untuk menciptakan generasi yang lebih sadar dan peduli terhadap isu ini. Peran pemerintah juga penting untuk memastikan aparat penegak hukum lebih responsif dan sensitif dalam menangani laporan kekerasan terhadap perempuan, termasuk memberikan pelatihan khusus untuk memahami kompleksitas kasus-kasus tersebut. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah juga perlu ditingkatkan untuk memastikan program-program perlindungan perempuan dapat diakses secara merata di seluruh wilayah Indonesia. (RA)