Berau – Video-video orangutan yang muncul di permukiman bahkan mati tersengat listrik. Menunjukkan ruang-ruang yang tersisa untuk kera besar ini, makin sempit. Beberapa kali, orangutan terekam kamera warga muncul di pinggir jalan. Mulai dari kawasan Kutai Timur hingga ke Berau. Namun, memastikan rumah yang nyaman untuk orangutan itu tidak mudah.
Study 12 tahun Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) di Kalimantan timur yang dipublikasi pada 2019 lalu, menunjukkan rumah untuk orangutan tersisa sedikit. Dari studi itu, menunjukkan 70 hingga 80 persen orangutan tinggal di kawasan nonkonservasi yang rawan konflik.
“Jadi mereka tinggal di kebun sawit, tambang, permukiman, hingga HTI (hutan tanaman industri),” terang Yaya Rayadin dalam publikasinya pada 2019 lalu.
Rumah makin sempit atau menghilang. Sebab, hutan di Kalimantan Timur juga telah banyak berkurang. Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara dalam keterangan tertulisnya Kalimantan Timur pun selama 2024 telah kehilangan 44.483 hektare hutannya dan jadi nomor satu deforestasi. Terpaut hampir lima ribu hektare dari Kalimantan Barat di peringkat dua yang menyentuh angka 39.598 hektare. Lalu, Kalimantan Tengah dengan 33.389 hektare. Selain itu, sebanyak 83 persen kabupaten/kota di Indonesia mengalami deforestasi, dengan 68 kabupaten mencatat lebih dari 1.000 hektare hutan yang hilang.
“Namun, Kabupaten Kutai Timur di Kalimantan Timur mencatat deforestasi tertinggi, mencapai 16.578 hektare,” jelasnya.
Kehidupan dan Rumah yang Tersisa
Salah satu wilayah yang diperuntukkan bagi orangutan adalah Bentang alam Wehea (Kutai Timur) – Kelay (Berau). Wilayah ini seharusnya paling ramah untuk orangutan.
Bentang Alam Wehea-Kelay mempertahankan keanekaragaman hayati di dalamnya. Berdasarkan survey yang dilakukan forum, ada sekitar 1.200 individu orang utan kalimantan dan lebih dari 1.400 jenis satwa liar yang mendiami kawasan berhutan ini. Wilayah ini juga merupakan kawasan penyangga Daerah Aliran Sungai (DAS) Kelay dan DAS Wahau bagi masyarakat Kecamatan Kelay di Kabupaten Berau dan Kecamatan Kombeng, Kecamatan Wahau, serta Kecamatan Telen di Kutai Timur.
Pemerintah pun berencana membangun koridor satwa di kawasan Kecamatan Kelay, Berau. Koridor satwa ini, akan jadi akses untuk sejumlah satwa seperti orangutan, beruk, dan musang. Sebelumnya, berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan pada 4 November 2024, lokasi pembangunan koridor satwa yang dipilih berada di wilayah administratif Desa Long Beliu dan Desa Merapun, Kecamatan Kelay Kabupaten Berau. Lokasi ini dinilai ideal untuk koridor satwa karena memiliki kontur tanah yang mendukung dan kondisi tutupan hutan yang cukup baik.
Untuk mematangkan rencana ini, pada Januari lalu, BKSDA Kalimantan Timur bersama dengan Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) Kalimantan Timur, Kementerian Pekerjaan Umum serta Centre for Orangutan Protection (COP) melakukan kunjungan lapangan rencana Pembangunan Koridor Satwa di jalan nasional pada ruas jalan 021.2 Kecamatan Kelay Kabupaten Berau.
Koridor satwa ini merupakan jalur atau jembatan alami atau buatan yang menghubungkan dua area habitat yang terfragmentasi dengan tujuan untuk memfasilitasi pergerakan satwa liar di antara habitat yang terpisah. Hal ini membantu menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah isolasi populasi satwa dan meminimalkan potensi konflik antara satwa dan aktivitas manusia, termasuk risiko kecelakaan di jalan raya.
Tidak hanya koridor satwa. Kebutuhan rehabilitasi orangutan juga penting. Berbagai kasus interaksi orangutan dengan manusia, telah menunjukkan hal negatif. Pengembalian orangutan ke habitatnya menjadi penting.
Seperti kisah Orangutan Bonti, Jojo, dan Mary ketiganya berjenis kelamin betina dan dulunya merupa kan satwa peliharaan masyarakat. Orangutan Bonti dievakuasi oleh BKSDA Kaltim pada tanggal 27 April 2017. Orangutan Jojo sebelumnya dipelihara dalam kandang kayu sela ma 4 tahun sebelum akhirnya dievakuasi BKSDA Kaltim tanggal 12 April 2018. Orangutan Mary dulunya dipelihara dalam kotak kayu berukuran 1 x 1,5 meter. Mary dievakuasi oleh BKSDA Kaltim dan menjalani rehabilitasi sejak 12 Februari 2019. Orangutan Mary saat ini berusia 10 tahun, sedangkan Bonti dan Jojo saat ini berusia 12 tahun.
Orangutan peliharaan perlu menjalani proses rehabilitasi terlebih dahulu untuk memulihkan perilaku alaminya dan memutus ketergantungan kepada manusia. Di pusat rehabilitasi, mereka beradaptasi untuk bisa hidup mandiri di hutan. Para orangutan melatih kemampuannya untuk memanjat, berayun, mencari buah-buahan hutan, hingga membuat sarang. Jika mereka sudah menunjukkan perilaku seperti orangutan liar, maka orangutan tersebut dianggap layak untuk dilepasliarkan.
“Pelepasliaran orangutan merupakan bentuk komitmen Kementerian Kehutanan dalam upaya konservasi orangutan Kalimantan,” ujar M. Ari Wibawanto, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, dalam rilisnya pada 11 Januari 2025 lalu.
Selain Bonti, Jojo, dan Mary, Orangutan yang dilepasliarkan juga ada yang bernama Paluy, Keempat orangutan ini memiliki sejarah yang berbeda-beda. Paluy merupakan orangutan liar ber jenis kelamin jantan dengan estimasi usia 18 tahun. Paluy dievakuasi oleh BKSDA Kaltim dari kasus interaksi negatif pada tanggal 23 Juli 2024. Orangutan Paluy memerlukan pe nanganan medis terlebih dahulu dan pemulihan kesehatan sebelum akhirnya dapat dilepasliarkan kembali.
Pelepasliaran berlangsung di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, Kecamatan Busang. Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang berada di bawah pengelolaan KPHP Kelinjau. Proses pelepasliaran berjalan dengan lancar. Orangutan terpantau aktif menjela jah hutan dan mencari pakan. Tim monitoring COP akan mengikuti keempat orangutan selama 3 bulan untuk memastikan orangutan dalam kondisi aman dan bisa beradaptasi dengan baik di hutan. (Sirana.id)