Kalimantan Timur memiliki 841 desa yang tersebar di tujuh kabupaten. Desa-desa ini sebagian besar telah menjadi penjaga lingkungan. Bahkan kukuh mempertahankan hutannya dari berbagai korporasi yang tergiur kekayaan desa tersebut.
Salah satunya adalah Desa Mekar Baru, di Kutai Timur. Dalam wawancara mediaetam.com, pada Juni 2024, warga Desa Mekar Baru, masih berusaha teguh menjaga hutannya. Kekayaan hutan mereka, membuat banyak pengusaha tertarik mengekspansi. Namun, masyarakat merasa sudah cukup. Mereka sudah berladang dan berkebun. Tak perlu status karyawan atau manajer, sebab padi gunung dan cokelat, sudah cukup menghidupi mereka. Jika pun ingin menambah pendapatan, mereka tak ingin merusak alam yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.
Kepala Desa Mekar Baru Daniel Ibau menemukan tantangan. Hutan dulu tempat dia bermain saat kecil, terancam dirambah pengusaha. Warga desa ingin melindungi hutan mereka.
“Mungkin, Desa Mekar Baru itu kampung terakhir yang hutannya masih asli,” ucap Daniel.
Namun, mereka tidak boleh melawan dengan fisik atau menghunus mandau. Mereka melawan dengan mengamankan status desa mereka. Daniel mengatakan, Desa Mekar Baru mengejar status masyarakat hukum adat (MHA). Mereka pun tengah mengumpulkan persyaratan. Supaya, bisa jadi MHA segera.
“Kami sudah ikut pelatihan di Balikpapan untuk mempersiapkan jadi MHA,” sambung Daniel.
Jika memegang SK MHA, mereka bisa memastikan hutan adat mereka. Sehingga, bisa menghalau pengusaha-pengusaha yang hendak merambah hutan. Sebab, jika sampai hutan mereka dikuasai pengusaha, maka yang menikmati keuntungannya hanya segelintir orang. Sedangkan, imbasnya dirasakan seluruh desa.
Kisah desa yang menolak ekspansi perkebunan tidak hanya di Mekar Baru. Desa lain juga ada. Namun, banyak desa yang seakan menjaga hutan tanpa dukungan. Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim Saiduan Nyuk. Dalam sebuah diskusi yang membahas deforestasi Hutan Kalimantan di Samarinda, pada 1 Juni 2024 lalu,
Duan mengatakan, perjuangan berat harus dilakukan masyarakat adat untuk diakui. Padahal itu skema yang bisa melindungi hutan mereka dan juga menjamin mata pencahariannya.
“Masyarakat adat bahkan tanpa FCPF itu, tetap akan istilahnya berdarah-darah memperjuangkan hutannya,” ucapnya
Masyarakat adat pun dihadapkan pada posisi dibiarkan melawan sendiri korporasi. Konflik agraria selalu menghantui mereka. Buktinya adalah tak ada pengesahan RUU Masyarakat Adat hingga saat ini. (Sirana.id)